Selasa, 11 Agustus 2015

Pilkada Serentak

Sejak tahun 2005, Indonesia mempraktikkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung untuk memilih gubernur, bupati dan walikota. Pemilihan langsung itu merupakan amanat dari konstitusi hasil perubahan. Dalam pasal 18 ayat 4 UUD 1945 disebutkan bahwa “gubernur, bupati dan walikota sebagai kepala pemerintahan daerah, dipilih secara demokratis”. Memang tidak secara eksplisit disebutkan pemilihan dilakukan secara langsung, namun pada praktiknya sejak diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai turunan dari pasal 18 ayat 4 UUD 1945, Pilkada dilakukan dengan cara pemilihan langsung.

Sejatinya, Pilkada secara langsung itu untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia. Namun, dari tujuh tahun pengalaman Pilkada langsung ini justru timbul banyak dampak negatif dalam kehidupan demokrasi. Sebut saja, Pilkada telah menyuburkan praktik politik uang mulai dari mahar bagi parpol pengusung, biaya merawat konstituen, sampai politisasi birokrasi.

Selain itu, hasil Pilkada tak terlalu memuaskan. Dari 753 pasangan kepala daerah/wakil kepala daerah yang terpilih dari 2005 hingga akhir 2011, sebanyak 275 orang (18,2%) terjerat masalah hukum, baik sebagai saksi, tersangka, terdakwa maupun terpidana. Sedangkan, pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah juga sering pecah kongsi. Dari 753 pasangan itu, hanya 21 pasangan yang masih tetap maju dengan pasangan yang sama untuk periode selanjutnya. Artinya,  97,4% pasangan kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi. Pecah kongsi ini merupakan pendidikan politik yang buruk bagi masyarakat, karena tidak jarang mereka mengumbar konflik di depan publik.

Catatan pula, sejak dimulainya era Pilkada secara langsung (2005), Indonesia telah menggelar 852 Pilkada. Jumlah ini merupakan rekor Pilkada di dunia. Dengan kata lain, setiap tiga hari sekali di selenggarakan Pilkada. Bayangkan pula, dari 33 provinsi, 497 kabupaten/kota se-Tanah air, harus dilakukan Pilkada secara bergantian. Tentu, model Pilkada seperti ini terjadi pemborosan luar biasa.

Pada tahun 2012 lalu, kementrian Dalam Negeri mengusulkan Pilkada secara serentak. Usulan itu didasarkan pada pertimbangan efisiensi waktu dan anggaran serta memudahkan tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU). Usulan ini akhirnya disetujui dalam upaya percepatan pembahasan perubahan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah pada awal tahun 2015 lalu.

Undang-Undang Pilkada yang dikebut oleh DPR RI dan pemerintah akhirnya sudah terwujud dan siap untuk payung hukum Pilkada serentak mulai Desember 2015. Sebanyak kurang lebih 272 daerah akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan dimulai pada tahun 2015 ini. Ini berarti terjadi penambahan jumlah dari hitungan sebelumnya, yakni 204 daerah, karena sebagian daerah yang kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada Januari hingga Juni 2016 juga diikutkan pada pilkada serentak gelombang pertama ini.

Akan dimulainya start mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung ini akibat telah disahkannya secara resmi Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan Pemerintahan Daerah (RUU Pilkada) menjadi sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang pelaksanaan pilkada di Indonesia. proses jalannya pengesahan ini terbentuk melalui perundingan yang cukup lancar dan empat dari 10 fraksi di DPR menyatakan bahwa setuju atas revisi revisi UU tersebut tanpa memberikan catatan apapun.

Sedangkan pilkada serentak gelombang kedua yang rencananya akan berlangsung pada bulan Februari 2017 nanti, akan diikuti 99 daerah terdiri dari delapan provinsi dan 91 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Selanjutnya gelombang ketiga pilkada serentak akan dilaksanakan pada bulan Juni 2018 dan akan diikuti oleh 171 daerah meliputi 17 provinsi dan 154 kabupaten/kota..

Dengan telah disahkannya RUU Pilkada menjadi UU Pilkada ini, maka hanya ada tiga kelompok besar Pemilu di Indonesia, yaitu Pilkada serentak, Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Dengan langkah ini pula, maka kedaulatan rakyat telah berhasil dikembalikan kembali untuk berhak memilih calon pemimpin daerahnya. Momen ini sejatinya harus lebih disikapi dengan bijak oleh masyarakat di masing-masing daerah di Indonesia, dengan cara memilih secara cerdas pemimpin yang benar-benar berniat memajukan daerahnya dengan tulus dan ikhlas.

Muhammad Ichsan Nugroho Wibawanto
Mahasiswa Fakultas Hukum konsentrasi Pidana angkatan 2011
Universitas Negeri Semarang

Referensi dan bahan bacaan:
Majalah “Majelis”, Media Informasi dan Komunikasi Konstitusi, Edisi No. 10/TH.VI/OKTOBER 2012
Website lamda-ksi.com/2015/01/akhirnya-uu-pilkada-2015-disetujui-dpr.html di unduh pada Selasa 11 Agustus 2015.

0 komentar:

Posting Komentar