Di
Indonesia usaha pertama untuk membentuk KUHP nasional terwujud pada tahun 1969,
yang berupa Konsep Rancangan Undang-undang tentang Azas-azas dan dasar-dasar
pokok tata hukum pidana Indonesia, yang mendapat sorotan tajam dari Prof.
Mulyatno dalam kongres Persahi tahun 1964 di Surabaya. Sekarang akhirnya kita
mempunyai Konsep Rencana KUHP tahun 1972, yang merupakan revisi dari Konsep
tahun 1968. Pembaharuan hukum pidana memang terpusat pada pembaharuan KUHP
karena KUHP merupakan kodifikasi hukum pidana. Selain itu KUHP memuat
ketentuan-ketentuan umum yang juga berlaku untuk tindak pidana-tindak pidana
yang dirumuskan diperaturan-peraturan pidana diluat KUHP, kecuali apabila
ditentukan lain.
Sangat
disadari oleh para perancang bahwa mengadakan pembaharuan hukum pidana itu
bukan pekerjaan yang mudah yang dapat dikerjakan begitu saja. Di Jerman Barat
saja baru berhasil selesai dengan merevisi buku ke-I dari KUHP mereka setelah
bekerja hampir 20 tahun. Itupun hanya suatu revisi dan bukannya suatu pembuatan
buku KUHP yang baru. Padahal seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch;
“Das Strafrecht reformieren heiszt etwas
Besseres.” Yang artinya "membaharui
hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, akan tetapi
menggantikannya dengan yang lebih baik". (Dalam: Richard Lange,
Strafrechtsreform. Reform im Dilema, Munchen-Wien, 1972, halaman 9). Pada tahun
1956 Menteri Kehakiman membentuk suatu komisi dan setelah 5 tahun komisi ini
berhasil membuat suatu naskah sementara untuk KUHP yang baru. Akan tetapi
sampai tahun 1973, meskipun sudah berkali-kali dibicarakan di DPR namun masih
belum pula disahkan sebagai Undang-undang. (keterangan Prof. Hirano pada tanggal
29 November 1975 didalam pertemuan di Criminologisch Instituut di Utrecht)
Kalau
kita sekarang sudah mempunyai Konsep Rencana KUHP, kita boleh merasa bersyukur.
Namun melihat praktek bekerjanya sistem hukum pidana kita sekarang ini dapat
diajukan pertanyaan sampai dimanakah
urgensi bagi kita untuk mempunyai KUHP baru? Untuk memberi jawaban secara
pasti sebenarnya harus diadakan penelitian bagaimana sesungguhnya. Akan tetapi
bahwa W.v.S (hukum pidana) yang berlaku sekarang dan dalam bentuknya yang
sekarang ini tidak dapat dipertahankan terus menerus tidaklah perlu
dipersoalkan. Sedikitnya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama,
alasan yang bersifat Politik. Adalah
wajar bahwa Negara Republik Indonesia yang merdeka memliki KUHP yang bersifat
nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan suatu kebanggaan nasional yang
inhaerent dengan kedudukanannya
sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Adalah tugas dari
pembentuk undang-undang untuk “menasionalkan” semua perundang-undangan warisan
zaman kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila.
Alasan kedua,
bersifat Sosiologis. Suatu KHUP pada
dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa,
karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak ia kehendaki dan mengikatkan
kepada perbuatan-perbuatan itu suatu sangsi yang berupa pidana. Ukuran untuk
menentukan mana yang dilarang itu itentunya tergantung dari sudut pandan
kolektif. Yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan
sebaliknya. Kita mengetahui bahwa W.v.S (hukum pidana) kita ini tidak mungkin
mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara penuh, karena tidak
dibuat oleh kita sendiri. Mungkin ada yang menyanggah bahwa hal ini tidak
merupakan masalah, karena lebih dari setengah abad berlakunya W.v.S (hukum
pidana) ini banyak hal-hal yang bersifat universal. Misalnya, tentang
pengertian tindak pidana, syarat-syarat pemidanaan, pengertian pidana, dan
sebagainya. Mungkin ini benar, tetapi kenyataan bahwa ada pertumbuhan
peraturan-peraturan hukum pidana diluar W.v.S itu, dapat ditarik kesimpulan
bahwa W.v.S belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Alasan
yang ketiga,
bersifat Praktis, ialah kenyataan
bahwa teks resmi dari W.v.S meskipun menurut undang-undang No. 1 tahun 1946
dapat disebut secara resmi “Kitab Undang-undang Hukum Pidana” di singkat KUHP
adalah bahasa Belanda. Dapat diperhitungkan, bahwa jumlah penegak hukum,
termasuk para hakim, yang memahami bahasa asing tersebut makin lama makin
sedikit. Terjemahan dari W.v.S yang beraneka ragam itu tentunya tidak membantu
penyelenggaraan hukum pidana yang pasti dan seragam. Tidak mustahil terjadi
penafsiran yang menyimpang dari makna teks aslinya, yang disebabkan oleh suatu
terjemahan yang kurang tepat. Disamping para penegak hukum yang diharapkan
menguasai bahasa asing itu untuk dapat menerapkan W.v.S secara tepat, tidaklah
kurang penting artinya bagi rakyat biasa. Bagaimana mereka itu bisa diharapkan memahami
benar-benar yang dilarang, apabila mereka tidak mengerti bahasanya.
Yang
menjadi persoalan yang sangat sulit ialah bagaimana bentuk dari isi KUHP
nasional itu nanti? Yang jelas harus berasaskan Pancasila, akan tetapi bagaimana hal ini secara nyata dituangkan
dalam suatu kodifikasi hukum pidana?
Dan
Bagaimana dengan Konsep rencana KUHP yang sudah ada sekarang?
Hukum dan Hukum Pidana (Prof. Sudarto, SH)
0 komentar:
Posting Komentar