Rabu, 22 Mei 2013

Sampai Berapa Jauhkah Urgensi KUHP Nasional?

Sesudah Perang Dunia ke-II banyak negara mengusahakan pembaruan hukum pidananya. Pembaruan ini didorong oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang timbul sesudah perang dunia itu dan untuk negara-negara baru juga karena perubahan dalam susunan kenegaraan. Demikianlah beberapa negara yang telah berhasil memperbaharui KUHPnya, misalnya Yugoslavia pada tahun 1951, Korea tahun 1953, Swedia tahun 1965 dll. Uni Soviet pada tahun 1958 menetapkan Fundamentals of Criminal Legislation, yang harus diikuti oleh negara-negara bagiannya. Jepang dan Austria telah siap dengan konsep rencana KUHPnya.

Di Indonesia usaha pertama untuk membentuk KUHP nasional terwujud pada tahun 1969, yang berupa Konsep Rancangan Undang-undang tentang Azas-azas dan dasar-dasar pokok tata hukum pidana Indonesia, yang mendapat sorotan tajam dari Prof. Mulyatno dalam kongres Persahi tahun 1964 di Surabaya. Sekarang akhirnya kita mempunyai Konsep Rencana KUHP tahun 1972, yang merupakan revisi dari Konsep tahun 1968. Pembaharuan hukum pidana memang terpusat pada pembaharuan KUHP karena KUHP merupakan kodifikasi hukum pidana. Selain itu KUHP memuat ketentuan-ketentuan umum yang juga berlaku untuk tindak pidana-tindak pidana yang dirumuskan diperaturan-peraturan pidana diluat KUHP, kecuali apabila ditentukan lain.

Sangat disadari oleh para perancang bahwa mengadakan pembaharuan hukum pidana itu bukan pekerjaan yang mudah yang dapat dikerjakan begitu saja. Di Jerman Barat saja baru berhasil selesai dengan merevisi buku ke-I dari KUHP mereka setelah bekerja hampir 20 tahun. Itupun hanya suatu revisi dan bukannya suatu pembuatan buku KUHP yang baru. Padahal seperti apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch; “Das Strafrecht reformieren heiszt etwas Besseres.” Yang artinya "membaharui hukum pidana tidak berarti memperbaiki hukum pidana, akan tetapi menggantikannya dengan yang lebih baik". (Dalam: Richard Lange, Strafrechtsreform. Reform im Dilema, Munchen-Wien, 1972, halaman 9). Pada tahun 1956 Menteri Kehakiman membentuk suatu komisi dan setelah 5 tahun komisi ini berhasil membuat suatu naskah sementara untuk KUHP yang baru. Akan tetapi sampai tahun 1973, meskipun sudah berkali-kali dibicarakan di DPR namun masih belum pula disahkan sebagai Undang-undang. (keterangan Prof. Hirano pada tanggal 29 November 1975 didalam pertemuan di Criminologisch Instituut di Utrecht)

Kalau kita sekarang sudah mempunyai Konsep Rencana KUHP, kita boleh merasa bersyukur. Namun melihat praktek bekerjanya sistem hukum pidana kita sekarang ini dapat diajukan pertanyaan sampai dimanakah urgensi bagi kita untuk mempunyai KUHP baru? Untuk memberi jawaban secara pasti sebenarnya harus diadakan penelitian bagaimana sesungguhnya. Akan tetapi bahwa W.v.S (hukum pidana) yang berlaku sekarang dan dalam bentuknya yang sekarang ini tidak dapat dipertahankan terus menerus tidaklah perlu dipersoalkan. Sedikitnya ada tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, alasan yang bersifat Politik. Adalah wajar bahwa Negara Republik Indonesia yang merdeka memliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan suatu kebanggaan nasional yang inhaerent dengan kedudukanannya sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Adalah tugas dari pembentuk undang-undang untuk “menasionalkan” semua perundang-undangan warisan zaman kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila.

Alasan kedua, bersifat Sosiologis. Suatu KHUP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak ia kehendaki dan mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan itu suatu sangsi yang berupa pidana. Ukuran untuk menentukan mana yang dilarang itu itentunya tergantung dari sudut pandan kolektif. Yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya. Kita mengetahui bahwa W.v.S (hukum pidana) kita ini tidak mungkin mencerminkan nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia secara penuh, karena tidak dibuat oleh kita sendiri. Mungkin ada yang menyanggah bahwa hal ini tidak merupakan masalah, karena lebih dari setengah abad berlakunya W.v.S (hukum pidana) ini banyak hal-hal yang bersifat universal. Misalnya, tentang pengertian tindak pidana, syarat-syarat pemidanaan, pengertian pidana, dan sebagainya. Mungkin ini benar, tetapi kenyataan bahwa ada pertumbuhan peraturan-peraturan hukum pidana diluar W.v.S itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa W.v.S belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Alasan yang ketiga, bersifat Praktis, ialah kenyataan bahwa teks resmi dari W.v.S meskipun menurut undang-undang No. 1 tahun 1946 dapat disebut secara resmi “Kitab Undang-undang Hukum Pidana” di singkat KUHP adalah bahasa Belanda. Dapat diperhitungkan, bahwa jumlah penegak hukum, termasuk para hakim, yang memahami bahasa asing tersebut makin lama makin sedikit. Terjemahan dari W.v.S yang beraneka ragam itu tentunya tidak membantu penyelenggaraan hukum pidana yang pasti dan seragam. Tidak mustahil terjadi penafsiran yang menyimpang dari makna teks aslinya, yang disebabkan oleh suatu terjemahan yang kurang tepat. Disamping para penegak hukum yang diharapkan menguasai bahasa asing itu untuk dapat menerapkan W.v.S secara tepat, tidaklah kurang penting artinya bagi rakyat biasa. Bagaimana  mereka itu bisa diharapkan memahami benar-benar yang dilarang, apabila mereka tidak mengerti bahasanya.

Yang menjadi persoalan yang sangat sulit ialah bagaimana bentuk dari isi KUHP nasional itu nanti? Yang jelas harus berasaskan Pancasila, akan tetapi bagaimana hal ini secara nyata dituangkan dalam suatu kodifikasi hukum pidana?

Dan Bagaimana dengan Konsep rencana KUHP yang sudah ada sekarang?

Hukum dan Hukum Pidana (Prof. Sudarto, SH)

0 komentar:

Posting Komentar