Rabu, 22 Mei 2013

Sepenggal KISAH "Dalam Dekapan Ukhuwah" Pemuda & Seorang Ibu

Persaudaraan adalah mu’jizat, wadah yang saling berikatan
Dengannya Allah persatukan hati-hati berserakan
Saling bersaudara, saling merendah lagi memahami
-Sayyid Quthb-


DI PERJALANAN, pemuda itu terbiasa menyapa dan mengajak bicara siapa saja yang berdiri didekatnya ataupun duduk disebelahnya. Setelah itu tergantung lawan bicara; jika mereka merasa nyaman, dia akan mengerahkan kemampuannya berakrab-akrab. Dia akan hanyut bersama mereka dalam perbincangan mengasyikkan. Tapi jika disapa terlihat merasa terganggu, dia akan kembali mengakrabi buku yang telah dia siapkan. Sebelum meletakkan bagasi diruang penyimpanan atas, dia tak pernah lupa membuka tas punggungnya, mengeluarkan sebuah buku dan melemparnya ke kursi. Setelah itu duduk.

Hari itu, yang duduk disampingnya dalam penerbangan Jakarta-Singapura tampak tak biasa. Seorang ibu, sudah cukup sepuh dengan keriput diwajah mulai menggayut. Kerudung kusut. Sandalnya jepit sederhana. Dalam pandangan si pemuda, beliau tampak agak udik. Tenaga kerjakah? Setua ini?

Tetapi begitu si pemuda menyapa, si ibu tersenyum padanya. Dan tampaklah raut muka yang sumringah dan merdeka. Sekilas, garis-garis ketentuan diwajahnya menjelma menjadi semburat cahaya kebijaksanaan. Si pemuda takjub.

“Ibu hendak kemana?” tanyanya sambil tersenyum ta’zhim.
“Singapura Nak,” senyum sang ibu bersahaja.
“Akan bekerja atau...?”
“Bukan Nak. Anak ibu yang nomor dua bekerja disana. Ini mau menengok cucu. Kebetulan menantu ibu baru saja melahirkan putra kedua mereka.”

Si pemuda sudah merasa tak enak atas pertanyaannya barusan. Kini dia mencoba lebih hati-hati.
“Oh, putra ibu sudah lama bekerja disana?”
“Alhamdulillah, lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga nggak ngerti apa maksudnya, hehe... yang jelas disana jadi Arsitek. Tukang gambar gedung.”

Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat.
“Oh iya ptra ibu ada berapa?”
“Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di sangapura ini nomor dua. Yang nomor tiga sudah tugas jadi Dokter Bedah di Jakarta. Yang nomor 4 sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapet beasiswa.”

“MasyaAllaoh luar biasa. Alangkah bahagianya menjadi ibu yang berhasil mendidik mereka.” Si pemuda mengerjap mata dan mendecakan lidah.

Si ibu mengangguk-ngangguk dan berulang kali berucap “Alhamdulillah.” Lirih. Matanya berkaca-kaca.

“Oh iya, maaf bu.., bagaimana dengan putra ibu yang pertama?”

Si ibu menundukkan kepala. Sejenak tanggannya memainkan sabuk pengamannya yang terpasang di pinggang. Lalu dia tatap lekat-lekat si pemuda. “Dia tinggal di kampung nak, bersama dengan Ibu. Dia bertani. Meneruskan menggarap secuil sawah peninggalan bapaknya.” Si ibu terdiam. Beliau menghela nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang ke arah jendela sambil mengulum senyum yang entah apa artinya. Si pemuda menyesal telah bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.

“Maaf bu kalau pertanyaan saya menyinggung ibu. Ibu mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama ibu sebagaimana putra-putra ibu yang lainnya.”

“Oh tidak nak, bukan begitu!” si ibu cepat-cepat menatap tajam namun lembut pada si pemuda. “ibu justru sangat bangga pada putra pertama ibu itu. Sangat-sangat bangga. Sangat-sangat bangga!” si ibu menepuk-nepuk pundak si pemuda dengan mata berbinar seolah dialah sang putra pertama.

“Ibu bangga sekali padanya, karena dia lah yang rela membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati dan mengirimi surat penyemangat saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan menjadi seperti sekarang ini” sang ibu terisak.

Sunyi, tak ada kata.

Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan di matanya tumpah...

0 komentar:

Posting Komentar