Persaudaraan adalah
mu’jizat, wadah yang saling berikatan
Dengannya Allah
persatukan hati-hati berserakan
Saling bersaudara, saling merendah lagi memahami
-Sayyid Quthb-
Hari itu, yang duduk disampingnya dalam penerbangan
Jakarta-Singapura tampak tak biasa. Seorang ibu, sudah cukup sepuh dengan
keriput diwajah mulai menggayut. Kerudung kusut. Sandalnya jepit sederhana.
Dalam pandangan si pemuda, beliau tampak agak udik. Tenaga kerjakah? Setua ini?
Tetapi begitu si pemuda menyapa, si ibu tersenyum
padanya. Dan tampaklah raut muka yang sumringah dan merdeka. Sekilas,
garis-garis ketentuan diwajahnya menjelma menjadi semburat cahaya
kebijaksanaan. Si pemuda takjub.
“Ibu hendak kemana?” tanyanya sambil tersenyum ta’zhim.
“Singapura Nak,” senyum sang ibu bersahaja.
“Akan bekerja atau...?”
“Bukan Nak. Anak ibu yang nomor dua bekerja disana. Ini
mau menengok cucu. Kebetulan menantu ibu baru saja melahirkan putra kedua
mereka.”
Si pemuda sudah merasa tak enak atas pertanyaannya
barusan. Kini dia mencoba lebih hati-hati.
“Oh, putra ibu sudah lama bekerja disana?”
“Alhamdulillah, lumayan. Sekarang katanya sudah jadi Permanent Resident begitu. Ibu juga
nggak ngerti apa maksudnya, hehe... yang jelas disana jadi Arsitek. Tukang
gambar gedung.”
Si pemuda tertegun. Arsitek? PR di Singapura? Hebat.
“Oh iya ptra ibu ada berapa?”
“Alhamdulillah Nak, ada empat. Yang di sangapura ini
nomor dua. Yang nomor tiga sudah tugas jadi Dokter Bedah di Jakarta. Yang nomor
4 sedang ambil S2 di Jerman. Dia dapet beasiswa.”
“MasyaAllaoh luar biasa. Alangkah bahagianya menjadi ibu
yang berhasil mendidik mereka.” Si pemuda mengerjap mata dan mendecakan lidah.
Si ibu mengangguk-ngangguk dan berulang kali berucap
“Alhamdulillah.” Lirih. Matanya berkaca-kaca.
“Oh iya, maaf bu.., bagaimana dengan putra ibu yang
pertama?”
Si ibu menundukkan kepala. Sejenak tanggannya memainkan
sabuk pengamannya yang terpasang di pinggang. Lalu dia tatap lekat-lekat si pemuda.
“Dia tinggal di kampung nak, bersama dengan Ibu. Dia bertani. Meneruskan
menggarap secuil sawah peninggalan bapaknya.” Si ibu terdiam. Beliau menghela
nafas panjang, menegakkan kepala. Tapi kemudian menggeleng, menerawang ke arah
jendela sambil mengulum senyum yang entah apa artinya. Si pemuda menyesal telah
bertanya. Betul-betul menyesal. Dia ikut prihatin.
“Maaf bu kalau pertanyaan saya menyinggung ibu. Ibu
mungkin jadi sedih karena tidak bisa membanggakan putra pertama ibu sebagaimana
putra-putra ibu yang lainnya.”
“Oh tidak nak, bukan begitu!” si ibu cepat-cepat menatap
tajam namun lembut pada si pemuda. “ibu justru sangat bangga pada putra pertama
ibu itu. Sangat-sangat bangga. Sangat-sangat bangga!” si ibu menepuk-nepuk
pundak si pemuda dengan mata berbinar seolah dialah sang putra pertama.
“Ibu bangga sekali padanya, karena dia lah yang rela
membanting tulang dan menguras tenaga untuk membiayai sekolah adik-adiknya.
Bahkan dialah yang senantiasa mendorong, menasehati dan mengirimi surat penyemangat
saat mereka di rantau. Tanpa dia, adik-adiknya takkan menjadi seperti sekarang
ini” sang ibu terisak.
Sunyi, tak ada kata.
Pemuda itu mengambil sapu tangan. Genangan di matanya
tumpah...
0 komentar:
Posting Komentar