Kamis, 12 Juni 2014

Jadilah Pengacara “ARSITEK” Bukan Pengacara “TUKANG”

“Siapa membiarkan kezaliman sama juga menyetujui kezaliman”


Gambar: Searching Google
Pengacara merupakan salah satu dari sekian banyak profesi yang mulia. Sebagai salah satu dari empat pilar hukum seorang pengacara mempunyai tugas utama menegakan hukum. Sudah menjadi semacam komentar sumir dimasyarakat bahwa hukum di Indonesia dewasa ini memihak pada uang. Akibatnya, masyarakat tidak begitu percaya lagi dengan proses hukum yang sedang berlangsung, sehingga tak jarangmereka menempuh “Hukum Jalanan”. Nah, dalam kondisi seperti inilah posisi seorang pengacara sangat penting.


Sebagai seorang yang “melek” hukum sudah galibnya kalau pengacara membuat agar hukum tidak bengkok. Ia harus berdiri pada posisi yang benar-benar kuat agar tidak tergoyahkan ketika membela kebenaran. Memang sebuah tugas yang tidak mudah ditengah zaman yang penuh dengan fitnah, rekayasa, dan konspirasi jahat demi kepentingan kelompok tertentu.

Ada kisah menarik yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khatab. Pada suatu hari ada seseorang istri diadukan oleh perempuan lain. Perempuan tersebut mengadukan bahwa si istri tersebut telah melakukan perzinaan. Sebagai bukti ia membawa pakaian dalam yang terkena bercak-bercak sperma dan saksi-saksi yang meyakinkan.

Terhadap pengaduan tersebut Umar menjatuhkan hukuman rajam. Sebelum hukum dilaksanakan datanglah Ali bin Abi Thalib. ia meminta hukuman ditunda karena bukti yang diajukan kurang meyakinkan. Umar pun menyetujui. Guna menguji bukti tersebut Ali kemudian mengambil air yang dicampur dengan garam, air tersebut kemudian disiramkan pada pakaian dalam yang dipakai sebagai bukti. Tidak begitu lama akhirnya bisa diketahui bahwa bercak pada pakaian dalam tersebut bukan sperma melainkan putih telur.


Lewat buktian ali maka terkuaklah siapa sebenarnya yang salah. Setelah diselidiki lebih lanjut ternyata perempuan yang mengadukan perkara perzinaan itu ternyata istri muda dari suami si istri yang menjadi terdakwa. Akhirnya, Umar membebaskan si terdakwa dan kemudian memeluk Ali seraya berkata ” Kalau bukan Ali pasti saya sudah celaka dengan memberikan vonis yang sewenang-wenang .”

Adatiga pelajaran penting dalam kisah diatas. Pertama, tugas pengacara adalah menyelamatkan seseorang dari kesewenang-wenangan. Kedua, profesi pengacara sangat dibutuhkan ditengah tengah masyarakat agar keadilan bisa tegak. Ketiga, seorang pengacara haruslah mempunyai analisa yang tajam.

Selama ini posisi pengacara masih sering disalahpahami, sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa pengacara merupakan orang yang membela mereka-mereka yang bersalah. Ini terjadi karena profesi pengacara masih hal baru dalam ranah kehidupan di Indonesia. Tentu saja kalau ada anggapan terhadap pengacara masih terkesan “miring” adalah hal yang wajar.

Dalam ranah hukum pengacara mempunyai tugas membela tersangka bukan terpidana. Seorang tersangka adalah orang yang masih diduga melakukan kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan apakah dia bersalah atau tidak maka digelarlah proses persidangan. Dalam proses ini berdasarkan bukti bukti yang dimilikinya seorang pengacara akan membela si tersangka. Nantinya dalam akhir proses persidangan akan diputuskan apakah si tersangka bersalah atau tidak oleh majelis hakim. Bila ia bersalah maka akan menjadi terpidana, dan sebaliknya jika tidak bersalah akan bebas. Jadi bisa dikatakan bahwa pengacara tidak membela orang yang salah, tugasnya justru membela seseorang tidak diperlakukan sewenang-wenang.

Dalam konteks diatas tugas pengacara sangatlah penting. Apa jadinya dunia ini bila seorang yang belum diadili dan masih diduga bersalah langsung dijatuhi hukuman. Tentu umat manusia akan kembali memasuki zaman purba yang penuh dengan anarkhi, siapa yang kuat maka dialah yang selalu benar.

Ada dua tipe pengacara, pertama,pengacara “Tukang” ; pengacara jenis ini bekerja berdasarkan jenis pesanan. Bila ada “order” datang ia akan bekerja dan bila tidak ada “order” akan ongkang-ongkang kaki, biasanya pengacara jenis ini tidak memberikan arahan apapun kepada kliennya karena sebenarnya dia memang tidak mendalami perkara yang ditanganinya. Sebagai pengacara dia memang tidak pernah memahami apa sebenarnya profesi itu sehingga tak mengherankan kalau pengetahuannya sangat dangkal, Pengacara jenis ini sama dengan seorang dokter yang memberikan obat tapi setelah itu justru menimbulkan penyakit baru.

Bisa dikatakan pengacara “Tukang” hanya sebagai pelengkap penderita dalam pengadilan. Ia menjalankan profesinya bukan untuk memperjuangkan kebenaran melainkan hanya mencari formalitas belaka, ia berharap dengan popularitas yang dimilikinya akan dengan mudah mendapatkan klien. Memang tak mengherankan kalau ada klien yang datang padanya bukan kasus apa yang sedang dihadapi kliennya melainkan kapan kontrak menggunakan jasanya ditandatangani, sehingga bisa mendapatkan fee secepat-cepatnya.

Kedua, Pengacara “Arsitek” Pengacara jenis ini berbeda dengan pengacara tukang. Ia bekerja dengan sistematika yang sangat rapi dalam menyelesaikan setiap kasus yang ditanganinya, mulai dari pra pengadilan sampai pengadilan berakhir akan dia ikuti dan selesaikan dengan sebaik-baiknya, sebagaimana seorang arsitek yang membangun rumah.

Seorang pengacara “Arsitek” dalam menangani perkara akan selalu melalui tahapan-tahapan yang tersistematiskan. Pertama, dia akan mempelajari kasus yang akan ditanganinya dengan serius dengan cara mencari data-data dan informasi sebanyak-banyaknya. Kedua, berusaha memahami kasus tersebut dengan sebaik dan secermat mungkin, Ketiga, menentukan strategi yang akan dipakai dipersidangan nantinya. Dengan cara kerja seperti itu maka dia akan bisa mempredisikan apakah kasus yang ditanganinya akan memenangkan perkara atau tidak.

Dikutip dari Buku ”Strategi Bisnis Jasa Advokat” Ari Yusuf Amir. SH., MH Cetakan I Maret 2008. Penerbit Navila Idea.Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar