Sabtu, 14 Juni 2014

Dilema antara Penegakan Hukum, Media Massa dan Moral Bangsa dalam Kehidupan Bernegara

Berkaitan dengan Penegakan Hukum, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH telah memaparkan dalam makalahnya tentang “Penegakan Hukum” bahwa Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih rinci, beliau menjabarkan pengertian Penegakan hukum ditinjau dari beberapa sudut baik dalam subjek maupun objeknya. Dilihat dari sudut Subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.

Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia.

Indonesia adalah negara hukum (rechstaats) yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya memiliki penegak-penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik PIDANA Maupun PERDATA.

Kondisi Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik dari pada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum, kesadaran hukum, kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas  belaka tetapi tetapi  juga dipermainkan seperti barang dagangan. Hukum yang seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit dan carut marut.

Hal ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang dipaparkan Jimly di awal, yang idealnya tak sejalan dengan realita. Memang, ketika berbicara realita dilapangan sungguh sangat memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, entah dari internal para penegak hukumnya, hukum itu sendiri atau bahkan dua duanya. ketika para penegak hukumnya telah demikian adanya yang terkesan tidak mampu mengatasi masalah “pribadinya”, bagaimana dengan rakyat yang diwakilinya? Terlantar dan tidak teropeni dengan layak baik dari segi sarana prasarana, pendidikan, ekonomi dll yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia yang sangat di perlukan dan dibutuhkan demi kesejahteraan.

Berbagai kebobrokan yang kita lihat dalam kehidupan berbangsa saat ini seperti korupsi, pudarnya rasa kesetiakawanan sosial, pupusnya nasionalisme, kurangnya semangat kemandirian dan kepercayaan diri yang semuanya bisa dibilang berasal dari kelemahan watak atau karakter. Sistem pendidikan nasional pun tampaknya lebih berorientasi pada sekadar pemenuhan kebutuhan pasar atas tenaga kerja berupa pemberian pengetahuan dan keterampilan teknis yang kurang diimbangi, untuk tidak mengatakan tidak disertai dengan pembangunan karakter.

Untuk kepentingan pembangunan karakter tersebut, banyak hal yang harus kita lakukan di berbagai sektor, seperti halnya peran media massa. Dalam kaitan itulah, hal-hal apa yang sekiranya dapat dilakukan oleh media massa, khususnya media televisi, dalam berperan serta untuk membangun karakter bangsa. Aspek media massa ini semakin penting, mengingat luasnya wilayah geografis Indonesia yang harus dijangkau, jumlah penduduk yang begitu besar, dan berbagai lapisan masyarakat yang perlu dilibatkan. Serta, pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi akhir-akhir ini.

Media massa merupakan saluran komunikasi, yang menjangkau publik yang berjumlah besar. Media massa secara sederhana terdiri dari media cetak (suratkabar, majala buku, dan lain-lain), media elektronik (televisi dan radio), dan media online. Berkat perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, pengertian media massa ini makin meluas. Penulis disini akan lebih berfokus pada media televisi. Kenapa televisi? Ya, karena televisi lah yang paling banyak digunakan sebagai media informasi paling efektif disetiap keluarga, daerah dan wilayah. Televisi telah menjangkau semuanya. Hampir setiap rumah memilikinya, sehingga paling tidak informasi sekecil apapun pasti akan sampai pada seluruh pelosok negeri.

Secara umum, ada tiga fungsi media massa. Pertama, memberi informasi. Kedua, mendidik. Ketiga, menghibur. Dan, dalam masyarakat demokrasi seperti kita, sering disebutkan fungsi keempat, yaitu melakukan kontrol sosial. Di sini, media berfungsi seperti anjing penjaga yang mengawasi jalannya pemerintahan; mengritik berbagai penyimpangan dilembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif; serta berbagai fenomena yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri. Seringnya terjadi tawuran antar siswa, meluasnya penyebaran narkoba disekolah, bentrokan kekerasan antar warga, adalah contoh hal-hal dalam masyarakat yang patut dikritisi media.

Jika kita ingin membahas peran media massa dalam pembentukan karakter bangsa, maka peran itu harus diwujudkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi media yang sudah tersebut di atas. Dari semua fungsi itu, fungsi yang menonjol adalah fungsi mendidik (to educate). Dalam hal ini, media massa ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk karakter warga negara. Namun, pertanyaannya adalah diluar idealnya fungsi media massa tersebut, apakah telah efektif dan efisien dalam menyuguhkan informasi-informasi yang mendidik guna pembentukan karakter yang positif?

Setiap media massa berita memiliki apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka juga memiliki apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial policy). Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Sedangkan kebijakan redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi yang dianutnya. Pemilihan berita atau program untuk disiarkan, serta alokasi waktu (durasi) yang disediakan untuk program-program yang bersifat mendidik, tentunya juga dipengaruhi oleh kebijakan redaksional ini.

Mengingat kondisi moral bangsa Indonesia saat ini sudah mulai menghawatirkan. Banyak para remaja kita yang sebenarnya berfungsi sebagai tiang bangsa sudah mulai melupakan pentingnya moral dan justru malah kondisi moral mereka sudah mulai rusak. Mereka sudah mulai melupakan nilai, norma dan etika yang seharusnya benar-benar mereka jaga dan mereka pupuk. Seharusnya hal ini lah yang dijadikan orientasi media dalam menyuguhkan tayangan dan informasi tersebut sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Namun, dalam realitanya hal ini hanya dijalankan berdasarkan kepentingan komersial belaka, tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan bagi pembentukan karakter bangsa. Padahal, peran media sendiri cukup besar di jaman modern seperti saat ini. Justru medialah yang menjadi biang keladi degradasi moral tersebut. Lebih parahnya lagi, ketika kepentingan-kepentingan politik yang destruktif menyusupi media yang menjadikannya tidak independen lagi. Sudah menjadi rahasia umum ketika media mulai “bermain peran” saat kepentingan itu hadir sebagai permintaan kelompok untuk mewujudkan tujuan kelompok tersebut. Baik menutupi, menyudutkan atau bahkan mengebiri hak-hak orang lain melalui retorika visual yang ditampilkan. Dalih mencerdaskan masyarakat, justru membodohi masyarakat melalui tayangan-tayangan dan sajian-sajian inmoral. Membesar-besarkan sesuatu yang seharusnya tak begitu penting, serta menenggelamkan/menyembunyikan sesuatu dan menggantinya dengan hal lain juga cukup efektif “membodohi” masyarakat.

Pemerintah sekali lagi di tuntut bekerja keras selain pada internalnya namun juga pada eksternalnya untuk membenahi kembali sistem penegakan hukum yang ideal dan media massa menjadi konstruksi moral sebagaimana fungsinya agar menjadi pioner utama dalam pembentukan karakter bangsa yang bermartabat, agar apa yang dicita-citakan negara ini sebagaimana tercantum pada pembukaan UUD 1945 tersebut benar-benar (paling tidak mendekati) terwujud.


Oleh; Muhammad Ichsan Nugroho
Download tulisan klik disini

0 komentar:

Posting Komentar