Berkaitan dengan Penegakan Hukum, Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH telah memaparkan dalam makalahnya tentang “Penegakan
Hukum” bahwa Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Lebih rinci, beliau menjabarkan pengertian Penegakan hukum ditinjau
dari beberapa sudut baik dalam subjek maupun objeknya. Dilihat dari sudut Subjeknya,
penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula
diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas
atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua
subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif
atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas
dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan
hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law
enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan
‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan
peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang
tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul
dalam bahasa Inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah
‘the rule of law and not of man’
versus istilah ‘the rule by law’ yang
berarti ‘the rule of man by law’.
Dalam istilah ‘the rule of law’
terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang
formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the
rule of just law’. Dalam istilah ‘the
rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada
hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum,
bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the
rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan
hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah
kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan
upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit
maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh
aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang
untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara di Indonesia.
Indonesia adalah negara hukum (rechstaats) yang senantiasa mengutamakan
hukum sebagai landasan dalam seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen
Indonesia sebagai negara hukum pun selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis
dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara
menginginkan Negaranya memiliki penegak-penegak hukum dan hukum yang adil dan
tegas dan bukan tebang pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan
pengistimewaan dalam menangani setiap kasus hukum baik PIDANA Maupun PERDATA.
Kondisi Hukum di Indonesia saat ini
lebih sering menuai kritik dari pada pujian. Berbagai kritik diarahkan baik
yang berkaitan dengan penegakkan hukum, kesadaran hukum, kualitas hukum,
ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan dengan proses berlangsungya hukum
dan juga lemahnya penerapan berbagai peraturan. Kritik begitu sering
dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di Indonesia. Kebanyakan
masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat dibeli, yang
menang mereka yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang banyak
pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada pengakuan di
masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak hukum tidak
dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh dan adil.
Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka tetapi
tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan. Hukum yang seharusnya
menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin
pembunuh karena didorong oleh perangkat hukum yang morat-marit dan carut marut.
Hal ini sangat berbanding terbalik
dengan apa yang dipaparkan Jimly di awal, yang idealnya tak sejalan dengan
realita. Memang, ketika berbicara realita dilapangan sungguh sangat
memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, entah dari
internal para penegak hukumnya, hukum itu sendiri atau bahkan dua duanya. ketika
para penegak hukumnya telah demikian adanya yang terkesan tidak mampu mengatasi
masalah “pribadinya”, bagaimana dengan rakyat yang diwakilinya? Terlantar dan
tidak teropeni dengan layak baik dari segi sarana prasarana, pendidikan,
ekonomi dll yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia yang sangat di
perlukan dan dibutuhkan demi kesejahteraan.
Berbagai kebobrokan yang kita lihat
dalam kehidupan berbangsa saat ini seperti korupsi, pudarnya rasa
kesetiakawanan sosial, pupusnya nasionalisme, kurangnya semangat kemandirian dan
kepercayaan diri yang semuanya bisa dibilang berasal dari kelemahan watak atau
karakter. Sistem pendidikan nasional pun tampaknya lebih berorientasi pada
sekadar pemenuhan kebutuhan pasar atas tenaga kerja berupa pemberian pengetahuan
dan keterampilan teknis yang kurang diimbangi, untuk tidak mengatakan
tidak disertai dengan pembangunan karakter.
Untuk kepentingan pembangunan karakter
tersebut, banyak hal yang harus kita lakukan di berbagai sektor, seperti halnya
peran media massa. Dalam kaitan itulah, hal-hal apa yang sekiranya dapat
dilakukan oleh media massa, khususnya media televisi, dalam berperan serta untuk
membangun karakter bangsa. Aspek media massa ini semakin penting, mengingat
luasnya wilayah geografis Indonesia yang harus dijangkau, jumlah penduduk yang
begitu besar, dan berbagai lapisan masyarakat yang perlu dilibatkan. Serta,
pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi akhir-akhir ini.
Media massa merupakan saluran
komunikasi, yang menjangkau publik yang berjumlah besar. Media massa secara sederhana
terdiri dari media cetak (suratkabar, majala buku, dan lain-lain), media
elektronik (televisi dan radio), dan media online. Berkat perkembangan teknologi
informasi dan telekomunikasi, pengertian media massa ini makin meluas. Penulis disini
akan lebih berfokus pada media televisi. Kenapa televisi? Ya, karena
televisi lah yang paling banyak digunakan sebagai media informasi paling
efektif disetiap keluarga, daerah dan wilayah. Televisi telah menjangkau
semuanya. Hampir setiap rumah memilikinya, sehingga paling tidak informasi
sekecil apapun pasti akan sampai pada seluruh pelosok negeri.
Secara umum, ada tiga fungsi media
massa. Pertama, memberi informasi. Kedua, mendidik. Ketiga, menghibur. Dan,
dalam masyarakat demokrasi seperti kita, sering disebutkan fungsi keempat,
yaitu melakukan kontrol sosial. Di sini, media berfungsi seperti anjing penjaga
yang mengawasi jalannya pemerintahan; mengritik berbagai penyimpangan dilembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif; serta berbagai fenomena yang berlangsung
dalam masyarakat itu sendiri. Seringnya terjadi tawuran antar siswa, meluasnya
penyebaran narkoba disekolah, bentrokan kekerasan antar warga, adalah contoh
hal-hal dalam masyarakat yang patut dikritisi media.
Jika kita ingin membahas peran
media massa dalam pembentukan karakter bangsa, maka peran itu harus diwujudkan
melalui pelaksanaan fungsi-fungsi media yang sudah tersebut di atas. Dari
semua fungsi itu, fungsi yang menonjol adalah fungsi mendidik (to educate). Dalam hal ini, media massa
ikut berpartisipasi dalam upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk
karakter warga negara. Namun, pertanyaannya adalah diluar idealnya fungsi media
massa tersebut, apakah telah efektif dan efisien dalam menyuguhkan informasi-informasi
yang mendidik guna pembentukan karakter yang positif?
Setiap media massa berita memiliki
apa yang disebut kriteria kelayakan berita. Selain itu, mereka juga memiliki
apa yang disebut kebijakan redaksional (editorial
policy). Kriteria kelayakan berita itu bersifat umum (universal), dan tak
jauh berbeda antara satu media dengan media yang lain. Sedangkan kebijakan
redaksional setiap media bisa berbeda, tergantung visi dan misi atau ideologi
yang dianutnya. Pemilihan berita atau program untuk disiarkan, serta alokasi waktu
(durasi) yang disediakan untuk program-program yang bersifat mendidik, tentunya
juga dipengaruhi oleh kebijakan redaksional ini.
Mengingat kondisi moral bangsa Indonesia saat ini sudah mulai menghawatirkan. Banyak
para remaja kita yang sebenarnya berfungsi sebagai tiang bangsa sudah mulai
melupakan pentingnya moral dan justru malah kondisi moral mereka sudah mulai
rusak. Mereka sudah mulai melupakan nilai, norma dan etika yang seharusnya
benar-benar mereka jaga dan mereka pupuk. Seharusnya hal ini lah yang
dijadikan orientasi media dalam menyuguhkan tayangan dan informasi tersebut
sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Namun, dalam realitanya hal ini
hanya dijalankan berdasarkan kepentingan komersial belaka, tanpa
mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan bagi pembentukan karakter bangsa.
Padahal, peran media sendiri cukup besar di jaman modern seperti saat ini.
Justru medialah yang menjadi biang keladi degradasi
moral tersebut. Lebih parahnya lagi, ketika kepentingan-kepentingan politik
yang destruktif menyusupi media yang
menjadikannya tidak independen lagi. Sudah menjadi rahasia umum ketika media
mulai “bermain peran” saat kepentingan itu hadir sebagai permintaan kelompok
untuk mewujudkan tujuan kelompok tersebut. Baik menutupi, menyudutkan atau
bahkan mengebiri hak-hak orang lain melalui retorika visual yang ditampilkan.
Dalih mencerdaskan masyarakat, justru membodohi masyarakat melalui
tayangan-tayangan dan sajian-sajian inmoral.
Membesar-besarkan sesuatu yang seharusnya tak begitu penting, serta
menenggelamkan/menyembunyikan sesuatu dan menggantinya dengan hal lain juga
cukup efektif “membodohi” masyarakat.
Pemerintah sekali lagi di tuntut bekerja keras
selain pada internalnya namun juga pada eksternalnya untuk membenahi kembali sistem
penegakan hukum yang ideal dan media massa menjadi konstruksi moral sebagaimana fungsinya agar menjadi pioner utama
dalam pembentukan karakter bangsa yang bermartabat, agar apa yang
dicita-citakan negara ini sebagaimana tercantum pada pembukaan UUD 1945
tersebut benar-benar (paling tidak mendekati) terwujud.
Oleh; Muhammad Ichsan Nugroho
Download tulisan klik disini
0 komentar:
Posting Komentar