Minggu, 28 Desember 2014

Menerjang Gelombang Ketiga Indonesia bersama Nahkoda Baru

Momentum Pada tahun 2014 ini bukan semata pergantian kekuasaan saja, namun momentum bagi peralihan gelombang sejarah Indonesia yang memasuki gelombang ketiga. Begitulah Anis Matta menganalogikan periodisasi sejarah dengan pergantian era/zaman masa kepemimpinan Indonesia. Ia menggunakan konsep sejarah sebagai suatu kontinuum perjalanan satu entitas melintasi waktu, satu keberlanjutan dari masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Gelombang pertama merupakan awal dimana Indonesia menjadi Indonesia, sebuah persiapan dan upaya membangun sebuah peradaban yang mandiri.  Gelombang kedua dimana Indonesia bergulat dalam upaya mencari sistem yang kompatibel dengan sejarah dan referensi budayanya. Dan kini telah tiba bagi sang nahkoda baru Indonesia menaikkan jangkar dan mengibarkan layarnya untuk berlayar menuju Indonesia hebat yang di usungnya. Entah gelombang seperti apa yang akan dihadapi kepemimpinannya nanti.

Indonesia kini telah memiliki nahkoda baru itu. Bukan berlatar belakang jendral, ilmuwan, ataupun lainnya. Namun, sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa Ia merupakan representasi dari rakyat kecil. Alasan yang demikian memang bukanlah suatu hal yang keliru, ketika melihat sampai saat ini representasi itu memang benar adanya pada diri pribadi beliau, Bapak Joko Widodo. Semoga saja representasi ini tidak akan hilang ketika sumpah jabatan telah diucapkan.

Seberapa jauh representasi kepemimpinan beliau kedepan untuk Indonesia yang digadang-gadang akan menjadi Indonesia Hebat melalui Visi dan Misinya ketika kampanye. Apakah hanya pemanis saja kala itu karena ambisi partai yang mengusungnya ataukah memang benar adanya berasal dari keprihatinan dan harapan untuk mewujudkannya ketika ia berada di posisi sekarang ini.

Menilik dari pemerintahan sebelumnya, banyak kalangan beranggapan bahwa pemerintahan yang sedang berlangsung saat ini belum sepenuhnya efektif, efisien dan bersih dalam menjalankan tugasnya. Sehingga kesejahteraan yang merata, kebebasan yang beraturan dan keadilan lewat penegakan hukum yang pasti belum dapat diwujudkan sebagaimana mestinya.Hal ini dikarenakan belum adanya kemauan yang kuat untuk mengelola pemerintahan sesuai dengan amanat reformasi.

Kita semua tentunya berharap agar pemerintahan baru duet Jokowi-JK tidak mengulangi kekeliruan yang pernah terjadi sebelumnya. Jangan lagi ada kegaduhan di bidang hukum dan politik yang kemudian menjebak kita semua untuk tidak bisa melakukan banyak hal yang bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan rakyat.

Untuk itu, sebaiknya pemerintahan Jokowi-JK yang sedang dikukuhkan hari ini 20 Oktober 2014, harus lebih memfokuskan diri pada upaya membangun negeri sebagaimana amanat reformasi. Dalam hal ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena bila pemerintah Jokowi-JK sungguh-sungguh menjalankan program-program yang benar dan pro rakyat, pasti akan mendapat dukungan yang luas dari masyarakat, termasuk oposisi sekali pun. Tapi, jika Jokowi-JK terlalu berorientasi kepada kepentingan politik yang sempit dan jangka pendek, tentunya akan mengalami banyak gugatan, tidak hanya dari oposisi tapi juga masyarakat luas.

Dan juga tidak kalah pentingnya, berharap agar pemerintahan Jokowi-JK mampu menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Adil bukan berarti sama, namun mampu menempatkan sesuatu secara proporsional tanpa mengebiri dan memutilasi hak orang lain terlebih soal penegakan hukum. Pemanfatan hukum guna kepentingan bersama demi terciptanya kehidupan bernegara yang nyaman, adil dan sejahtera sangat diperlukan dalam upaya mengharonisasi keragaman suku bangsa ini, bukan hanya berkutat pada kepentingan politik praktis saja dan malah menyalahgunakan hukum. Apalagi menjadikan hukum sebagai instrument untuk membungkam pandangan kritis atau ‘musuh’ dari rezeim Jokowi-JK yang sedang berkuasa. Jangan sampai pemerintah baru nanti menggunakan hak-hak otoritasnya untuk tebang pilih.

Sangat memprihatinkan jika hukum dijerumuskan jauh ke dalam ranah politik. Sehingga kriminalisasi berupa rekayasa kasus hukum kembali terjadi. Akan sangat berbahaya jika institusi hukum tidak berdaya di bawah ketiak rezim berkuasa, dan hanya dijadikan satpam oleh penguasa. Sehingga, apabila terjadi perbedaan pandangan antara oposisi dan penguasa, kemudian berujung dengan adanya kriminalisasi yang dilakukan aparat penegak hukum atas order penguasa untuk membungkam lawan-lawan politiknya.

Belum lagi soal fenomena bahwa hukum hanya bersifat sektarian dan tebang pilih hampir nyata sampai hari ini. Aparat hukum mungkin sudah melakukan banyak hal, namun belum mampu menyentuh korupsi yang luar biasa di lingkungan kekuasaan.

Kasus-kasus korupsi di lingkaran penguasa seperti BLBI dan mega-skandal bail outBank Century  hampir tidak tersentuh. Beberapa nama yang sudah secara terang benderang disebut berkali-kali, tapi tak sekalipun diusut, bahkan sekedar dipanggil untuk diperiksa pun tidak. Belum tuntasnya penyelesaian kasus-kasus itu sudah cukup menggambarkan ketidak- berdayaan hukum di hadapan penguasa. Bahkan cenderung menjadi alat pemuas syahwat penguasa.

Sudah saatnya Indonesia Bangkit, untuk bisa menjadi Hebat. Hebat dalam arti yang sesungguhnya, senyatanya, yang direalisasikan melalui visi dan misi yang dilontarkan ketika kampanye lalu. Penulis tidak akan membahas visi dan misi itu lebih jauh disini, karena telah cukup melekat erat dibenak kita sekalian. Karena percuma jika tidak segera direalisasikan.

Diluar permasalahan penegakan hukum Indonesia tersebut, seyogyanya masih banyak permasalahan - permasalahan Indonesia yang cukup kompleks, khususnya dibidang pendidikan, ekonomi dan budaya. Namun, saya yakin kepemimpinan Jokowi akan sangat mampu mengatasi itu semua dalam Gelombang Ketiga Indonesia saat ini, jika Ia mampu membaca problematika umat (red: bangsa Indonesia saat ini) guna menyusun strategi apa kiranya yang mampu untuk dihidangkan dan dapat diterima. Disini lah tantangan besar Jokowi dalam menyelami serta memahami guna mengayomi masyarakatnya lebih luas, bukan sekedar di lingkup solo dan jakarta saja, namun lebih dari itu. Jika tidak, masyarakat akan bergulat mencari keseimbangan antara pertumbuhan dan kebahagiaan guna kesejahteraan hidupnya masing-masing. Disinilah budaya menjadi faktor penting. Karena kebahagiaan adalah perasaan umum (public mood) yang mengatakan hidup disini (red: Indonesia) adalah bermakna dan berharga. Oleh karena itu, Pemimpin adalah yang mampu mengelola public mood ini, bukan lagi pemimpin aspirasional yang mengandalkan populisme.

Maka dari itu, terlepas dari isu persaingan politik tidak sehat soal jegal menjegal dari beberapa opini yang muncul belakangan terkait kepemerintahaannya nanti kedepan dengan parlemen yang notabene dikuasai oleh oposisi. Berharap tidak hanya “kerengan” soal jabatan saja, karena akan lebih berarti jika mampu di manfaatkan sebaik-baiknya guna kemaslahatan umat. Bukan kemaslahatan golongan. Begitulah seharusnya seorang negarawan. Mari, bersama kita bangkit, menerjang gelombang ketiga ini untuk menuju Indonesia Hebat!


Oleh:
Muhammad Ichsan Nugroho Wibawanto
Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2011
Kepala Divisi Litbang Penal Study Club (PSC) Fakultas Hukum Unnes 2014
Kepala Divisi Media Lembaga Pers Mahasiswa (LEGIST) Fakultas Hukum Unnes 2014
Kepala Departemen Sosial Masyarakat KAMMI Komisariat Unnes 2014

Opini ini dibuat guna dimuat dalam buletin PROGRESIF Kammi Komisariat Unnes yang diterbitkan oleh Departemen Hubungan Masyarakat Edisi XII

0 komentar:

Posting Komentar