Senin, 13 Oktober 2014

Penegakan Hukum Tindak Pidana Umum

Gambar: Searching google
Muladi menyatakan bahwa dalam konsep penegakan hukum telah berkembang kesepakatan-kesepakatan dan penegasan-penegasan yang antara lain perlu dikembangkannya sistem peradilan pidana terpadu. Sistem peradilan pidana terpadu tersebut mencakup sub-sistem Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga koreksi (lembaga pemasyarakatan). Disamping itu mengingat peranannya yang semakin besar, penasihat hukum dapat pula dimasukkan sebagai sub sistem. Begitulah kiranya sekilas mengenai bagaimana penegakan hukum yang benar-benar saling mensinkronkan tugas dan fungsi masing masing lembaga penegak hukum dalam penegakan hukum.

Penegakan hukum merupakan salah satu topik bahasan yang tak pernah bosan untuk di kaji, baik dikalangan masyarakat menengah kebawah, masyarakat menengah bahkan merupakan suatu konsumsi laris baik dimedia pers, elektronik yang terkadang menimbulkan polemik dimana-mana karena banyaknya multi tafsir pendapat akibat opini yang berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Berbicara penegakan hukum pada hakekatnya merupakan suatu proses bekerjanya atau bagaimana hukum diterapkan melalui berbagai hubungan interaksi perilaku manusia yang mewakili institusi dan kepentingan yang berbeda. Dengan demikian proses bekerjanya hukum dipengaruhi oleh manusia-manusia yang menjalankan hukum. Disini kita bisa memahami bahwa hukum memang tidak hanya memiliki sifatnya yang normatif (rules), tetapi hukum juga sebagai suatu perilaku (Yudi Kristiana, “Menuju Kejaksaan Progresif, studi tentang Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi”, Penerbit Masyarakat Transparansi Internasional Jakarta, 2009  hal  19).

Sebagai suatu proses, penegakan hukum mempunyai korelasi dan hubungan interaksi dengan faktor-faktor yang menurut L.M. Friedman adalah sistem hukum itu sendiri meliputi substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum (Friedman L.M., the legal system, A social perspective) dimana satu faktor dengan faktor yang lainnya saling berhubungan sehingga mempengaruhi proses yang dicita-citakan. Suatu penegakan hukum menempati posisi yang strategis dalam pembangunan hukum, lebih-lebih disuatu negara hukum seperti halnya Negara kita adalah Negara hukum sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas dari pada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”.

Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup dari  istilah “Penegakan Hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum. Dari pengertian luas tadi, akan lebih membatasi pengertiannya yaitu kalaupun yang secara langsung berkecimpung dalam penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Dengan demikian mencakup mereka yang bertugas dibidang-bidang Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakata (Soerjono Soekanto, Faktor yang mempengaruhi penegak hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007, halaman 19)

Dalam pembahasan penegakan hukum menjadi bermakna bilamana para aparat dan yang terkait didalamnya benar-benar melaksanakan fungsinya dan tugasnya secara konkrit dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan HAM.

Bila dievaluasi dari pendekatan konteks hukum pidana, penegakan hukum yang disebut integrated justice system yang meliputi Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatn sebagaimana yang tercantum dan diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, akan tetapi dalam penjabaran dari masing-masing tentu telah didasari pada landasan berpijaknya sesuai tugas pokok masing-masing dan telah diatur dalam undang-undang sendiri.

Sistem Peradilan Pidana adalah jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu diantara bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dapat pula dikatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu komponen (sub sistem) peradilan pidana yang saling terkait / tergantung satu sama lain dan bekerja untuk mencapai tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. dari pengertian sistem tersebut sudah menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam peradilan (Dr. Rusli Muhammad, S.H., M.H, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, 2011, Yogyakarta; UII Press)

Menurut Barda Nawawi Arief, sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana yang diimplementasikan diwujudkan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : (1) kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik; (2) Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum; (3) kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan (4) kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan satu kekuasaan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana atau SPP terpadu atau Integrated Criminal Justice System.

Dalam sistem peradilan pidana, Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan pemasyarakatan merupakan penegak hukum yang mewakili hubungan fungsional yang sangat erat dan sudah semestinya proaktif bekerjasama, bersinergi dan berkoordinasi secara seksama dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini (Morris hanya menegaskan Polisi dan Jaksa, lihat Morris N, “Criminal Justice In Asia< Quest For and Integritas Approach, Introduction”, 1982). Sejalan dengan itu, Pillai berpendapat bahwa meskipun faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum sangat banyak, termasuk faktor-faktor sosial, ekonomi dan sebagainya, tetapi justru faktor terpenting penghambat penegakan hukum itu ada didalam sistem hukum itu sendiri.

Seperti misalnya, tidak mewujudkan fungsi keterpaduan, selalu menonjolkan ego kelembagaan bahkan hingga ada suatu pertentangan yang tidak ada jalan keluar sebagai solusi mengatasinya bahkan berjalan berlarut-larut hilang dari ingatan karena waktu berlalu (Domu P. Sihite, S.H., M.H, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Umum”, dalam Konsep Direktur Tindak Pidana terhadap Orang dan Harta Benda, 2014)

Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerja sama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika dudukung adanya sinkronisasi dari segi substansi yang mencakup produk hukum dibidang sistem peradilan pidana yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif Dr. Rusli Muhammad, S.H., M.H, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, 2011, Yogyakarta; UII Press).

Maka tentunya yang dicermati, fungsi keterpaduan harus benar diterapkan secara konsisten dan pemberdayaan penggerak yang bersinergi untuk mewujudkan komponen dasar system yaitu substansi sebagai hasil atau produk sistem (KUHAP), struktur lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan  Lembaga Pemasyarakatan, serta kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan di berdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari sistem peradilan pidana.

Secara khusus, mengacu pada landasan berpijak lembaga Kejaksaan dalam UU No. 16  Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. yang berkaitan dengan tugas pokok dan wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 30 :
ayat (1) Dibidang Pidana :
a.    melakukan penuntutan;
b.   melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c.   melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat;
d.    melakukan penyelidikan terhadap pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.    melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Ayat (2)  Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara , dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

Ayat (3) Dalam bidang Keamanan dan Ketertiban Umum turut menyelenggarakan kegiatan :
a.    peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
b.    pengamanan kebijakan penegakan hukum.
c.    pengamanan peredaran barang cetakan.
d.    pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
e.    pencegahan penyelenggaraan dan/atau penodaan agama.
f.     penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 32 : disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat  diserahi tugas wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Pasal 33 : dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

Dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan Kejaksaan, salah satu prinsip yang tidak bisa diabaikan dalam negara hukum adalah kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama didepan hukum. Disini dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan perbuatan pidana seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangan serta fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum, dapat dikatakan sangat central, mengingat dari segi pendekatan fungsi melalui integrate justice system, sangat terkait dengan hubungan kerja baik dengan Penyidik Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, bilamana ada suatu perkara tindak pidana yang ditanganinya dan melakukan penyidikan maka SPDP diberitahukan kepada Penuntut Umum sesuai pasal 109 ayat (1) KUHAP dan bilamana berkas sudah selesai dan Penyidik akan mengirim ke Kejaksaan dan selanjutnya dilakukan penelitian berkas perkara oleh jaksa peneliti dengan penelitian yang cermat apakah sudah dapat dinilai telah memenuhi syarat formil dan materiil, sesuai pasal 110 ayat (1) jo pasal 138 ayat (1) KUHAP. Disini dari sisi waktu, dalam waktu 7 (tujuh) hari jaksa peneliti wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum sesuai pasal 138 ayat (1) KUHAP.

Namun bilamana hasil penyidikan dinilai oleh jaksa peneliti bahwa berkas telah lengkap dan memenuhi syarat formil dan materiil sesuai pedoman yang dikuasai jaksa dalam melakukan check list berkas perkara, kemudian dinyatakan lengkap yang disebut dalam kode surat internal Kejaksaan P-21, maka penyidik tentunya akan mengirimkan Tersangka dan Barang Bukti ke Kejaksaan yang disebut Penyerahan Tahap kedua dimana jaksa dalam tugasnya sebelumnya telah menyiapkan pembuatan surat dakwaan sebagai tindak lanjut akan dilakukan  penuntutan (pasal 140 ayat (1) KUHAP).

Kemudian sesuai kewenangan jaksa penuntut umum yang telah ditentukan, akan melimpahkan berkas perkara lengkap dengan surat dakwaan ke Pengadilan yang berwenang mengadili dengan permintaan agar mengadili perkara yang disertai dengan surat dakwaan (pasal 143 ayat (1) KUHAP).


Muhammad Ichsan Nugroho
Sub Bab Laporan Akhir Praktek Kerja Lapangan FH Unnes 2014

di Kejaksaan Agung Republik Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar