Oleh
Muhammad Ichsan Nugroho W[2]
Muhammad Ichsan Nugroho W[2]
Abstrak
Istilah Tata kelola (governance)
memeliki beragam definisi tergantung pada berbagai keadaan lingkungan,
struktural, dan budaya, serta kerangka. Secara umum dapat di definiskan sebagai
kombinasi proses dan struktural yang di terapkan oleh Dewan untuk menginformasikan,
mengarahkan, mengelola, dan memantau kegiatan organisasi (negara) dalam rangka
mencapai tujuan. Dalam hal ini yang menjalankan tugas pengelolaan tersebut
ialah Pemerintah. Berbicara tentang Tata Kelola Pemerintah di Indonesia, tidak
terlepas dari Hukum yang mengatur tata perintahanan tersebut. Indonesia sendiri
menganut asas Negara Hukum (rule of law) dimana segala sesuatu yang mengatur
dalam pemerintahan Indonesia berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi
warganya. Sama halnya seperti pendapat Immanuel Kant (1724-1804), terhadap
tujuan negara hukum ialah; Menegakkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan warganya.
Kata
kunci: Tata kelola (governance), Pemerintah, Negara hukum
Pendahuluan
Esensi
dan hakekat dari tujuan negara hukum adalah adanya rasa keadilan, kedamaian dan
ketertiban yang akan tercipta dalam suasana lingkungan sebuah negara. Makna dan
falsafah dari ide yang mau dicapai oleh hukum inilah menjadi idaman seluruh
negara-negara modern, yang mendambakan adanya kesejahteraan bagi warga negaranya
(welfare state).[3]
Dalam
konsepsi welfares state, negara
diberi tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Untuk itu pemerintah juga diberi Freis
Ermessen, yaitu kewenangan yang sah untuk ikut campur dalam kegiatan sosial
guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum. Dalam
konsepsi, dengan adanya hal tersebut maka dibuatlah berbagai macam
aturan-aturan, sebagai asas fundamental dalam menyelenggarakan tata aturan utuk
mengejar cita-cita hukum tersebut (rechtsidee).
Nilai-nilai tersebut sangat berarti bagi suatu negara, maka dari itulah dibuat
aturan dasar yang lebih dikenal dengan sebutan konstitusi, yang mengatur hak dan kewajiban pemerintah dan warga
negaranya, tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik, aturan-aturan
penerapan fungsi dan wewenang lembaga-lembaga negara, pembentukan lembaga hukum
(peradilan) diberbagai sektor kehidupan, dan sebagainya.
Salah
satu lembaga yang paling potensial dalam melakukan putusan-putusan sengketa
hukum adalah Mahkamah Agung (MA). Pengaruh MA dalam banyak hal lebih besar dari
pada lembaga negara lain disebabkan putusan-putusan hakim dapat mempengaruhi
bidang-bidang lain. Begitu besar putusan hakim, sampai-sampai kata revolusi pernah dipakai untuk sebuah putusan
hakim, misalnya sebutan Januarie
revolutie yang diberikan kepada putusan Hoge Raad Belanda pada tanggal 31
Januari 1919. Putusan tersebut merubah pengertian yang sebelumnya berlaku
tentang melawan hukum. Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa yang disebut
melawan hukum itu tidak hanya tindakan yang bertentangan dengan tata susila
atau apa yang oleh masyarakat dianggap baik.[4]
Putusan
revolusi seperti itu tentu saja patut disambut gembira. Akan tetapi, dalam
hal-hal tertentu putusan hakim yang revolusi dapat sangat berbahaya. Misalnya,
putusan hakim tentang korupsi yang mengubah pengertian perbuatan yang
sebelumnya termasuk korupsi menjadi bukan korupsi melainkan dapat mendorong
seorang atau beberapa orang melakukan korupsi. Sampai sekarang masih sering
terjadi kasus atas putusan yang diberikan hakim terhadap pegawai biasa sangat
berbeda dengan pejabat tinggi. Berdasarkan kenyataan ini semestinya ada upaya
dari semua pihak termasuk MA, untuk mengupayakan bantuan hukum kepada rakyat
yang kebetulan tidak mampu, terutama dari segi dana.[5]
Tentu
saja, bahwa salah satu dasar dalam membentuk image penegakan hukum yang baik, khususnya dalam memutuskan
perkara, maka gagasan-gagasan hukum yang sudah diformalkan secara ideal dalam
konstitusi tersebut haruslah direalisasikan dengan konsisten. Misalnya saja
pelaksanaan aturan-aturan tentang pemerintahan yang bersih dan berwibawa,
adanya penerapan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Layak (AAUPL) dalam pengambilan keputusan, aturan tentang
penyalahgunaan kekuasaan atau bebas dari praktik-praktik korupsi dan
lain-lainnya.
Dari
kilasan tersebut tentang tata aturan dalam konstitusi tersebut jika dikaji
lebih dalam (radiks), maka akan
terlihat bahwa sesungguhnya salah satu tujuan dari konstitusi adalah adanya
pengaturan penyelenggaraan pemerintah yang layak dan baik dalam hal untuk
menerapkan kebijakan-kebijakan baik dalam bidang hukum, politik maupun bidang
lainnya.[6]
Ide
atau gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik, dari aspek historis,
terdapat dua pendekatan, yaitu secara personal dan sistem. Secara personal
telah di mulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang
ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana
haruslah menempatkan diri selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam
tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi
kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Dalam karya tulisnya yang ketiga; nomoi setelah dua karya tulisnya politeia dan politicos, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang
baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.[7]
Berdasarkan
pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintah yang didasarkan pada hukum
merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. HAN
dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintah yang baik.
Penyelenggaraan pemerintah lebih nyata dalam HAN, karena disini akan terlihat
konkret hubungan antara pemerintah dan masyarakat, kualitas dari hubungan
pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah
penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi HAN dapat
dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan,
pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, disisi lain HAN memuat aturan
normatif tentang bagaimana pemerintah dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah, bahwa salah satu inti
hakikat HAN adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan
fungsinya dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang
salah menurut hukum.
Good Gevernance
dalam Kaca Mata Hukum Administrasi Negara
UU
No. 5 Tahun 1986 dimana disebutkan bahwa administrasi negara yang melaksanakan
fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang baik dipusat maupun di daerah.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menurut UU No. 5 Tahun 1986 pasal 144 dapat
disebut dengan UU Peradilan Administrasi Negara.
Dalam
arti luas, PTUN adalah peradilan yang menyangkut pajabat-pejabat dan
instansi-instansi tata usaha negara baik yang bersifat Perkara Pidana, Perkara
Perdata, Perkara Adat, maupun perkara-perkara administrasi negara murni.[8]
Dalam
arti sempit, Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang menyelesaikan
perkara-perkara administrasi murni. Pengertian tata usaha murni adalah suatu
perkara yang tidak mengandung Pelanggaran Hukum, melainkan suatu persengketaan
yang berpangkal atau berkisar pada atau mengenai interprestasi dari suatu asal
atau suatu ketentuan undang0undang dalam arti luas; hakim, jaksa dan pengacara
serta masyarakat pada umumnya berpegang pada interprestasi yuridis, artinya
pengertian yang tidak melawan hukum (interprestasi
obyektifitas).
Peran
pejabat administrasi negara berpegang teguh pada interprestasi administratif (interprestasi obyektifitas) yang artinya
suatu pengertian yang memungkinkan mereka menyelenggarakan atau merealisasikan
pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan undang-undang (dalam arti luas), sehingga
segala sesuatu yang dikehendaki oleh undang-undang itu terwujud.
Administrasi
negara memandang undang-undang itu sebagai Rumusan dari kehendak-kehendak
negara yang wajib di penuhi atau direalisasikan oleh administrasi negara. Dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, administrasi negara dan
administratornya relative berdasarkan undang-undang dan peraturan. Ciri ini
memberikan warna legalitas dari Administrasi negara tersebut.[9]
Ada
beberapa asas yang bisa dijadikan patokan dalam menjalankan pemerintahan yang
adil dan patut. Menurut rangkuman Crince Le Roy dalam kuliahnya pada penataran lanjutan
Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Tata Pemerintahan di Fakultas Hukum Unair 1978,
Crince Le Roy mengemukakan 11 butir asas sebagai berikut;[10]
1.
Asas kepentingan
hukum
2.
Asas
keseimbangan
3.
Asas kesamaan
dalam mengambil keputusan
4.
Asas bertindak
cermat
5.
Asas motivasi
dalam setiap keputusan
6.
Asas larangan
mencampur adukkan kewenangan
7.
Asas permainan
yang layak
8.
Asas keadilan
dan kewajaran
9.
Asas menanggapi
penghargaan yang wajar
10. Asas meniadakan akibat keputusan yang batal
11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi
Kecuali tersebut
diatas, Kuntjoro Purbopranoto menambahkan 2 asas lainnya yaitu;
1.
Asas
kebijaksanaan
2.
Asas
penyelenggaraan kepentingan umum
Dalam rangka menggali,
menemukan dan merumuskan asas pemerintahan indonesia yang adil dan patut itu,
kiranya asas tersebut dijadikan pedoman dan tolok ukur, sepanjang berkesesuaian
dengan pancasila dan UU 1945, agama, hukum, adat dan hukum positif lainnya.
Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dapat disebut juga sebagai asas, karena AAUPB
tersebut mengandung dua unsur penting, yakni, pertama asas tersebut mengandung
asas yang sifatnya etis normatif, maksudnya adalah AAUPB tersebut dapat
digunakan sebagai petunjuk melingkupi suatu sifat penting yang mengandung
berbagai pengertian hukum. Asas-asas normatif etis ini merupakan asas yang
mengatur kadar etis di dalam hukum administrasi dalam penyelenggaraan
pemerintah. AAUPB bersifat petunjuk untuk menjelaskan terhadap sejumlah
peraturan hukum, seperti motivasi. Kedua, asas-asas tersebut mengandung asas
yang sifatnya menjelaskan.
Konsep Negara
Hukum dan Demokrasi
Terdapat
korelasi yang jelas antara Negara hukum, yang bertumpu pada konstitusi, dengan
kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Korelasi ini
tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional, sebagaimana disebutkan
dalam teori konstitusi. Dalam sistem demokrasi, partisispasi rakyat merupakan
esensi dari sistem ini. Dengan kata lain, negara hukum harus bertopang dengan
sistem demokrasi. Demokrasi tanpa penaturan hukum akan kehilangan bentuk arah,
sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna.
Dalam
abad ke-20 gagasan demokrasi selalu dikaitkan dengan istilah konstitusi,
sehingga lahir istilah demokrasi konstitusional. Gagasan dasar demokrasi
konstitusional adalah terwujudnya cita-cita pemerintahan yang terbatas
kekuasaannya (limited governance),
terdapatnya beberapa larangan pemerintahan bertindak sewenang-wenang (abus de drait atau willikeur), terjaminnya hal-hak asasi manusia dan dihindari
terpusatnya kekuasaan pada satu tangan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan
kekuasaan atau wewenang (detaournament de
pouvair).[11]
Sedangkan
konsep negara hukum, yakni berprinsip bahwa negara berdasarkan atas hukum pada
hakekatnya adalah suatu “negara hukum”.
Negara
hukum adalah negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya.
Maksudnya adalah segala kewenangan dan
tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan
hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan
tercerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.[12]
Pengertian
lain negara hukum secara umum ialah bahwasanya kekuasaan negara dibatasi oleh
hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbuatan baik dilakukan
oleh para penguasa atau aparatur negara maupun dilakukan oleh para warga negara
harus berdasarkan atas hukum.
Sekilas
apa yang dipaparkan tersebut mengindikasikan bahwa konsep atau ide
Negara hukum dan demokrasi merupakan sebuah ide yang dicita-citakan oleh suatu
bangsa, untuk menjamin adanya stabilitas negaranya. Dengan kata lain kedua
konsep ini merupakan konsep yang mengatur tentang bagaimana sesungguhnya negara
itu dikelola dalam sebuah Negara sesuai dengan jiwa-jiwa humanis, tanpa ada
yang dirugikan. Dalam hal ini baik dari pihak penguasa maupun pihak yang
dikuasai. Sehingga dalam hal ini juga kesewenang-wenangan pemerintahan terhadap
rakyatnya akan dibatasi. Sekali lagi bahwa konsep negara hukum yang mempunyai
ciri pokok antara lain adanya; (1) pengaturan tentang prinsip-prinsip HAM, (2)
adanya pengaturan tentang organisasi negara, dan adanya peradilan administrasi
yang bebas.
Tujuan Negara
Hukum
Negara
berdasarkan atas hukum pada hakekatnya adalah suatu Negara Hukum. Akan tetapi
apakah yang dimaksud dengan Negara Hukum. Sangat penting untuk diselidiki arti
dan makna dari istilah negara hukum, sehingga akan di peroleh pengertian yang
jelas dalam pemakaian berikutnya.
Selanjutnya
apa tujuan dari negara hukum itu sendiri, untuk hal ini penulis sedikit
mengemukakan analisis atau pendapat Immanuel
Kant (1724-1804).
Menurutnya
dalam sebuah teorinya “negara hukum”, bahwa tujuan negara adalah menegakkan hak-hak
kebebasan-kebebasan warganya.[13]
Untuk
mencapai jaminan atas hak-hak dan kebebasan (kemerdekaan) individu itu sebagai
sistem “trias politica” maka harus
diadakan pemisahan kekuasaan, yang oleh Kant disebutkan sebagai potestas legislatora, rectoria et judiciare, dimana satu dan
yang lainnya harus seimbang.
Namun,
dalam realitasnya, mungkin selamanya tidak akan ditemui negara yang memang
benar-benar negara hukum atau benar-benar negara kekuasaan. Sungguhpun
demikian, sangatlah mungkin salah satu dari konsep atau kecenderungan itu
memainkan posisi yang paling dominan. Hal ini sangat tergantung pada beberapa
faktor, diantaranya: (a) faktor budaya hukum dan politik yang menopongnya; (b)
faktor perimbanga kekuatan pengaruh antara kedua kekuatan yang mendukung salah
satu gagasan itu; dan (c) faktor tekanan dari dunia Internasional. Tiga faktor
ini sangat penting untuk mengetahui prospek dari realisasi gagasan negara hukum
dimasa depan.
Secara
normatif dan ideal konstitusional
Indonesia adalah negara hukum yang berasaskan kedaulatan rakyat, namun
Implementasinya dalam praktek, baik pada masa kini maupun masa depan,
tergantung pada budaya hukum dan politik yang berkembang didalam masyarakat.
Telah
lazimnya diketahui pada masa sekarang, jaringan kekuasaan dengan kuatnya
sehingga kebebasan Individu tinggal sedikit. Negara hukum kemudian berubah
makna menjadi negara perizinan. Untuk melakukan sesuatu, orang harus mengisi
formulir permohonan izin dari penguasa. Bahkan, untuk membuktikan bahwa
seseorang itu Berkelakuan baik, ia harus mengisi beberapa formulir melalui
beberapa Instansi, walaupun dalam kenyataannya ia tidak terlibat dalam suatu
tindakan kriminal yang sedang diproses.
Berkenaan
dengan asas kebebasan bertindak oleh penyelenggara negara itu, ada baiknya
merenungi dalil lama Lord Acton bahwa
“kekuasaan itu cenderung korup”. Kekuasaan yang terlalu besar membuka peluang
bagi penyalahgunaan secara lebih besar lagi. Karena itu, adanya kontrol yang
kuat dari rakyat untuk memaksa penyelenggara negara agar tetap berada pada
jalur hukum merupakan salah satu cara menegakkan hukum. Namun realitas yang
terjadi di dalam masyarakat Indonesia ialah, kekuasaan itu
sendiri cenderung dengan politik. Rekayasa politik, baik melalui undang-undang
maupun melalui kekuasaan, telah berkembang sedemikian rupa sehingga kekuatan
hukum yang mampu melakukan kontrol itu menjadi lemah. Politik pada umumnya ada
beberapa arti seperti; (1) kebijakan; (2) seni memenej kekuasaan; (3) cara,
akal dan taktik. Intinya adalah mempengaruhi orang lain agar dapat bertingkah
laku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhinya, yakni yang mempunyai
kekuasaan, maka perlunya kontrol dari kekuasaan tersebut dengan di bentuknya
Hukum. Hukum tersebut merupakan hasil dari kesepakatan politik yang bertujuan
mengontrol kekuasaan tersebut dan membatasinya. Namun kenyataannya sekarang
hukum lah yang di kontrol oleh politik itu sendiri dan jauh dari apa yang di
harapkan.
Untuk
itu, yang diharapkan sekali adalah adanya kontrol masyarakat terhadap kekuasaan
harus lebih tegas lagi. Karena kepada para profesional di bidang hukum, aktivis
LSM, dosen, dan Mahasiswa harus memposisikan diri sebagai agen dalam
mengimbangi dari kekuasaan yang cenderung sewenang-wenang tersebut. Tanpa
kehadiran kelompok ini pada masa depan, ditengah semakin lemahnya peranan partai-partai
politik untuk melakukan reformasi melalui saluran-saluran legislatif sebagai
implikasi.[14]
Kesimpulan
Oleh
karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara
hukum dan demokrasi yang selaras dengan tujuan negara kita, maka dalam praktek
penyelenggaraan negara, ketentuan-ketentuan hukum harus dihormati, harus
ditegakkan oleh pemerintah atau penyelenggara negara.
Para
legislator adalah pihak pertama yang wajib memberi keteladanan dalam mentaati
hukum.
[1]
Tulisan ini penulis pilih dari beberapa referensi tulisan yang di
berikan dosen pengampu mata
kuliah Hukum Administrasi Negara Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang Tahun 2012
[2]
Mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2011, peserta didik Mata Kuliah Hukum
Administrasi
Negara Rombel 02
[3]
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia. ctk. I. Pustaka
Pelajar;
Yogyakarta, 2011, hal. 106
[4]
SF.Marbun. Akuntabilitas Putusan
Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung, Keterbukaan
Keterukuran Sanksi, ctk.Pertama, UII Press
Yogyakarta, 2004, hal.545.
[5]
Ibid., hal.545
[6] Abdul
Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia. ctk. I. Pustaka Pelajar;
Yogyakarta, 2011, hal. 108
[7]
Ridwan HR, Hukum Administrasi
Negara, ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta,2002, hal.2
[8]
Vicor Situmorang dan Soedibyo,
Pokok-pokok Peradilan Tata Usaha Negara, ctk. Kedua, PT
Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 16
[9]
Mifta Thoha, Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, ctk.
Kelima, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1992, hal. 44
[10] SF. Marbun, Peradilan
Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, op. cit., hal. 284
[11]
S.F. Marbun, Peradilan
Administrasi dan Upaya Administrasi di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 2003, hal. 149
[12]
Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara
Hukum, Padang, Angkasa Raya Padang, 1992, hal. 20
[13]
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung, Mandar Maju, 1989, hal.49
[14] Abdul
Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia. ctk. I. Pustaka Pelajar;
Yogyakarta, 2011, hal. 26
0 komentar:
Posting Komentar