Sabtu, 21 Desember 2013

SELALU ADA CELAH; Refleksi Penegakan Hukum di Indonesia

Bicara proses hukum, pasti tidak sedikit diantara kita yang beranggapan bahwa terkait masalah hukum adalah hal yang melelahkan. Terlebih bagi kalangan masyarakat awam, berurusan dengan penegak hukum/terkait masalah hukum merupakan momok yang begitu mengerikan dan menguras tenaga, fikiran waktu, tak jarang pula menguras uang. Mau tidak mau hal ini memang harus di akui oleh kita semua, bahwa mulai dari tahapan Penyidikan, Penuntutan, Peradilan hingga Pemidanaan sangat berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan yang merugikan orang atau badan hukum sebagai subyek hukum.

Kenapa demikian, ini tak lain disebabkan banyaknya celah  hukum yang dapat setiap waktu dimanfaatkan oleh oknum penegak hukum. Dan itu, MUNGKIN SAJA akibat tidak sempurnnya hukum formil yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Alhasil penyidik yang moral serta integritas pengabdiannya pada Negara lemah, cenderung mudah untuk berperilaku subyektif bahkan sewenang-wenang dan akibatnya tujuan dan cita-cita supremasi hukum malah mencederai RASA KEADILAN MASYARAKAT pada semua tingkatan.

Salah satu Contoh kasus yang baru-baru ini terjadi pada salah satu hakim di lembaga yang disebut sebagai The Guardian of The Constitution, Akil Mochtar. Seperti yang terlansir di http://www.kpk.go.id, Akil diduga menerima suap dua sengketa Pilkada, yakni Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak Banten. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, di Kantor KPK, Jakarta, Kamis (3/10) “Dari hasil ekspose telah disimpulkan bahwa telah ditemukan bukti awal yang cukup tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi terkait operasi tangkap tangan yang dilakukan pada Rabu malam,”.

Abraham menjelaskan, untuk dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah, Akil ditetapkan sebagai tersangka bersama-sama dengan tiga orang lainnya. Mereka yakni CHN yang diketahui adalah Chairun Nisa selaku anggota DPR asal Partai Golkar, CN atau Cornelis Nalau yang dikenal sebagai pengusaha, dan HB alias Hambit Binti selaku Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Dan hal ini pun menjadi daftar panjang krisis Penegakan hukum yang kurang mengikat di negeri ini. Apalagi telah merambah ke institusi tertinggi yang diyakini sebagai benteng terakhir penegak keadilan dan kebenaran. Harus kemana lagi warga Negara mencari keadilan??? Haruskah Negara Republik Indonesia yang kita banggakan ini terpuruk dalam supresi hukum yang berkeadilan?? Jika para pengambil kebijakan (baca: MK) nya sudah seperti ini. Apa sebenarnya yang salah dinegeri ini, manusianya? Sistem pemerintahannya? Atau hukumnya?

Saya rasa semuanya saling berkaitan satu sama lain, tinggal bagaimana memperbaiki dari hal yang fundamental itu agar tidak ada celah-celah untuk seseorang melakukan perbuatan menyimpang tersebut. Namun, tak akan ada artinya jika itu semua telah di lakukan jika manusianya tak mengerti dan di tanamkan nilai-nilai moralnya.

Yang terjadi saat ini, belum sepenuhnya sempurna. Meski hukum Tuhanlah yang paling sempurna, paling tidak menyempurnakan hukum positif negeri ini sangat WAJIB diperlukan demi terciptanya hukum yang benar-benar di harapkan masyarakat.

Selain berbicara Hukum Formil dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatas pun tak lepas kaitannya dengan hukum Materiil dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam penegakannya di Indonesia.

Banyak sebenarnya yang menjadi pokok permasalahan dalam hukum positif (KUHP) ini, sebagai salah satu contoh dalam hal perzinaan yang diatur dalam pasal 284 ayat 1 KUHP yang isinya sebagai berikut;

Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. (a) Laki-laki yang beristri, berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu bersuami; (b) Perempuan yang bersuami berbuat zina; 2. (a) Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu bersuami; (b) Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu beristri dan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku pada kawannya itu.

Berdasarkan Pasal 284 ayat (1) KUHP, seseorang tidak bisa dikenakan tindak pidana perzinaan bila dilakukan oleh seorang laki-laki lajang dengan perempuan yang juga lajang (dilakukan atas dasar suka sama suka). KUHP hanya mendefinisikan zina adalah perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.

Pasal ini melegalkan apabila seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang belum menikah untuk berbuat zina. Pasalnya yang dapat dijerat dengan pasal ini ialah orang yang sudah menikah saja, sedangkan untuk orang yang belum menikah tidak dapat dikenakan pasal ini. maka jangan heran kalau di negara ini sangat banyak muda-mudi yang melakukan seks bebas dengan sesuka hatinya

Hukum nasional yang ada sekarang merupakan gabungan tiga jenis hukum yaitu hukum islam, hukum adat, dan hukum barat. Ketiga hukum ini lah yang menjadi pilar dalam hukum nasional bangsa ini. Tentu saja banyak terdapat perbedaan yang dominan dari ketiga hukum ini salah satunya adalah mengenai defenisi dari zina menurut hukum barat (KUHP), dengan hukum islam dan hukum adat.

Terkait masalah zina, ada perbedaan yang sangat mendasar antara definisi zina dalam Hukum Positif (KUHP) dengan definisi yang berlaku di masyarakat. Pandangan inilah yang seharusnya diubah dalam kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana zina, Walaupun konsep rancangan perubahan KUHP sudah rampung namun, belum disahkan toh kita bisa menggunakan asas legalitas materiil yang memungkinkan seorang hakim hanya mendasarkan hukum yang tertulis saja tetapi hukum yang hidup dimasyarakat dapat digunakan menjadi dasar sember hukum.

Dan masih banyak hal yang menjadi celah dalam pengaturan hukum saat ini yang harus di benahi, karena hukum selalu punya celah. Sebenarnya yang bisa menutupnya adalah keadilan dari para penjaganya. Tripartit penegak hukum seharusnya menjaga pagarnya, bukan malah bertindak bak “pagar makan tanaman”. Sayangnya, seringkali inilah yang kerap terjadi. Apalagi ditambah pengacara atau pihak pembela yang pasti berusaha memanfaatkan celah itu demi keuntungan kliennya. Lengkaplah sudah derita hukum Indonesia diobok-obok empat pihak yang seharusnya justru menjunjung tinggi prinsip “Fiat Justitia, Ruat Caelum” itu.

Inilah sebenarnya persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, pada era ini, dalam keadaan tertentu menjadi dilema yang akan mengancam terjadinya pemerkosaan terhadap hak masyarakat dalam menjalani tahapan proses hukum dinegeri ini. Namun semuanya bergantung pada moralitas dan integritas serta pendalaman sekaligus penjiwaan para penegak hukum akan fungsi PELINDUNG, PENGAYOM, PELAYAN MASYARAKAT. Pertanyaannya sadarkah mereka akan hal itu?? HANYA DIA DAN TUHANNYA YANG TAU. Tapi percayalah bahwa setiap apa yang dilakukan didunia akan dimintai pertanggung jawaban kelak. Bahkan pemimpin yang membiarkan peraturan/Undang-undang yang mengakibatkan terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan pada rakyatnya/ummat pun takkan luput dari beban pertanggungjawaban.
Wallau’alam bisawab…

by Muhammad Ichsan Nugroho
Sumber;
http://kammiunnes.wordpress.com/2013/10/13/selalu-ada-celah-refleksi-penegakan-hukum-di-indonesia/

0 komentar:

Posting Komentar