Bicara proses hukum,
pasti tidak sedikit diantara kita yang beranggapan bahwa terkait masalah hukum
adalah hal yang melelahkan. Terlebih bagi kalangan masyarakat awam, berurusan
dengan penegak hukum/terkait masalah hukum merupakan momok yang begitu
mengerikan dan menguras tenaga, fikiran waktu, tak jarang pula menguras uang.
Mau tidak mau hal ini memang harus di akui oleh kita semua, bahwa mulai dari
tahapan Penyidikan, Penuntutan, Peradilan hingga Pemidanaan sangat berpotensi
terjadinya kesewenang-wenangan yang merugikan orang atau badan hukum sebagai
subyek hukum.
Kenapa demikian, ini
tak lain disebabkan banyaknya celah hukum yang dapat setiap waktu
dimanfaatkan oleh oknum penegak hukum. Dan itu, MUNGKIN SAJA akibat tidak
sempurnnya hukum formil yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Alhasil penyidik yang moral serta integritas pengabdiannya pada
Negara lemah, cenderung mudah untuk berperilaku subyektif bahkan
sewenang-wenang dan akibatnya tujuan dan cita-cita supremasi hukum malah
mencederai RASA KEADILAN MASYARAKAT pada semua tingkatan.
Salah satu Contoh
kasus yang baru-baru ini terjadi pada salah satu hakim di lembaga yang disebut
sebagai The Guardian of The Constitution, Akil Mochtar. Seperti yang terlansir
di http://www.kpk.go.id, Akil diduga menerima suap dua sengketa
Pilkada, yakni Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah dan Kabupaten
Lebak Banten. Menurut Ketua KPK Abraham Samad, di Kantor KPK, Jakarta,
Kamis (3/10) “Dari hasil ekspose telah disimpulkan bahwa telah ditemukan bukti
awal yang cukup tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi terkait operasi
tangkap tangan yang dilakukan pada Rabu malam,”.
Abraham menjelaskan,
untuk dugaan suap pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan
Tengah, Akil ditetapkan sebagai tersangka bersama-sama dengan tiga orang
lainnya. Mereka yakni CHN yang diketahui adalah Chairun Nisa selaku anggota DPR
asal Partai Golkar, CN atau Cornelis Nalau yang dikenal sebagai pengusaha, dan
HB alias Hambit Binti selaku Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah.
Dan hal ini pun
menjadi daftar panjang krisis Penegakan hukum yang kurang mengikat di negeri
ini. Apalagi telah merambah ke institusi tertinggi yang diyakini
sebagai benteng terakhir penegak keadilan dan kebenaran. Harus
kemana lagi warga Negara mencari keadilan??? Haruskah Negara Republik Indonesia
yang kita banggakan ini terpuruk dalam supresi hukum yang berkeadilan?? Jika
para pengambil kebijakan (baca: MK) nya sudah seperti ini. Apa sebenarnya yang
salah dinegeri ini, manusianya? Sistem pemerintahannya? Atau hukumnya?
Saya rasa semuanya
saling berkaitan satu sama lain, tinggal bagaimana memperbaiki dari hal yang
fundamental itu agar tidak ada celah-celah untuk seseorang melakukan perbuatan
menyimpang tersebut. Namun, tak akan ada artinya jika itu semua telah di lakukan
jika manusianya tak mengerti dan di tanamkan nilai-nilai moralnya.
Yang terjadi saat ini,
belum sepenuhnya sempurna. Meski hukum Tuhanlah yang paling sempurna, paling
tidak menyempurnakan hukum positif negeri ini sangat WAJIB diperlukan demi
terciptanya hukum yang benar-benar di harapkan masyarakat.
Selain berbicara Hukum
Formil dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatas pun tak
lepas kaitannya dengan hukum Materiil dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dalam penegakannya di Indonesia.
Banyak sebenarnya yang
menjadi pokok permasalahan dalam hukum positif (KUHP) ini, sebagai salah satu
contoh dalam hal perzinaan yang diatur dalam pasal 284 ayat 1 KUHP yang isinya
sebagai berikut;
Diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan: 1. (a) Laki-laki yang beristri,
berbuat zina, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu bersuami; (b) Perempuan
yang bersuami berbuat zina; 2. (a) Laki-laki yang turut melakukan
perbuatan itu, sedang diketahuinya, bahwa kawannya itu bersuami; (b) Perempuan
yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya,
bahwa kawannya itu beristri dan Pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
berlaku pada kawannya itu.
Berdasarkan Pasal 284
ayat (1) KUHP, seseorang tidak bisa dikenakan tindak pidana perzinaan bila
dilakukan oleh seorang laki-laki lajang dengan perempuan
yang juga lajang (dilakukan atas dasar suka sama suka). KUHP hanya
mendefinisikan zina adalah perbuatan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki
atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan
istri atau suaminya.
Pasal ini melegalkan
apabila seseorang baik laki-laki maupun perempuan yang belum menikah untuk
berbuat zina. Pasalnya yang dapat dijerat dengan pasal ini ialah orang yang
sudah menikah saja, sedangkan untuk orang yang belum menikah tidak dapat
dikenakan pasal ini. maka jangan heran kalau di negara ini sangat banyak
muda-mudi yang melakukan seks bebas dengan sesuka hatinya
Hukum nasional yang
ada sekarang merupakan gabungan tiga jenis hukum yaitu hukum islam, hukum adat,
dan hukum barat. Ketiga hukum ini lah yang menjadi pilar dalam hukum nasional
bangsa ini. Tentu saja banyak terdapat perbedaan yang dominan dari ketiga hukum
ini salah satunya adalah mengenai defenisi dari zina menurut hukum barat
(KUHP), dengan hukum islam dan hukum adat.
Terkait masalah zina,
ada perbedaan yang sangat mendasar antara definisi zina dalam Hukum Positif
(KUHP) dengan definisi yang berlaku di masyarakat. Pandangan inilah yang
seharusnya diubah dalam kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana zina,
Walaupun konsep rancangan perubahan KUHP sudah rampung namun,
belum disahkan toh kita bisa menggunakan asas legalitas materiil yang
memungkinkan seorang hakim hanya mendasarkan hukum yang tertulis saja tetapi
hukum yang hidup dimasyarakat dapat digunakan menjadi
dasar sember hukum.
Dan masih banyak hal
yang menjadi celah dalam pengaturan hukum saat ini yang harus di benahi, karena
hukum selalu punya celah. Sebenarnya yang bisa menutupnya adalah keadilan dari
para penjaganya. Tripartit penegak hukum seharusnya menjaga pagarnya,
bukan malah bertindak bak “pagar makan tanaman”. Sayangnya, seringkali inilah
yang kerap terjadi. Apalagi ditambah pengacara atau pihak pembela yang pasti
berusaha memanfaatkan celah itu demi keuntungan kliennya. Lengkaplah sudah
derita hukum Indonesia diobok-obok empat pihak yang seharusnya justru
menjunjung tinggi prinsip “Fiat Justitia, Ruat Caelum” itu.
Inilah sebenarnya
persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, pada era ini, dalam keadaan tertentu
menjadi dilema yang akan mengancam terjadinya pemerkosaan terhadap hak
masyarakat dalam menjalani tahapan proses hukum dinegeri ini. Namun semuanya
bergantung pada moralitas dan integritas serta pendalaman sekaligus penjiwaan
para penegak hukum akan fungsi PELINDUNG, PENGAYOM, PELAYAN MASYARAKAT.
Pertanyaannya sadarkah mereka akan hal itu?? HANYA DIA DAN TUHANNYA YANG TAU.
Tapi percayalah bahwa setiap apa yang dilakukan didunia akan dimintai
pertanggung jawaban kelak. Bahkan pemimpin yang membiarkan peraturan/Undang-undang
yang mengakibatkan terjadinya penindasan dan kesewenang-wenangan pada
rakyatnya/ummat pun takkan luput dari beban pertanggungjawaban.
Wallau’alam bisawab…by Muhammad Ichsan Nugroho
Sumber;http://kammiunnes.wordpress.com/2013/10/13/selalu-ada-celah-refleksi-penegakan-hukum-di-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar