 |
Gambar: Searching google |
Muladi menyatakan bahwa
dalam konsep penegakan hukum telah berkembang kesepakatan-kesepakatan dan
penegasan-penegasan yang antara lain perlu dikembangkannya sistem peradilan
pidana terpadu. Sistem peradilan pidana terpadu tersebut mencakup sub-sistem
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga koreksi (lembaga pemasyarakatan).
Disamping itu mengingat peranannya yang semakin besar, penasihat hukum dapat
pula dimasukkan sebagai sub sistem. Begitulah kiranya sekilas mengenai
bagaimana penegakan hukum yang benar-benar saling mensinkronkan tugas dan
fungsi masing masing lembaga penegak hukum dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum
merupakan salah satu topik bahasan yang tak pernah bosan untuk di kaji, baik
dikalangan masyarakat menengah kebawah, masyarakat menengah bahkan merupakan
suatu konsumsi laris baik dimedia pers, elektronik yang terkadang menimbulkan
polemik dimana-mana karena banyaknya multi tafsir pendapat akibat opini yang
berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Berbicara penegakan
hukum pada hakekatnya merupakan suatu proses bekerjanya atau bagaimana hukum
diterapkan melalui berbagai hubungan interaksi perilaku manusia yang mewakili
institusi dan kepentingan yang berbeda. Dengan demikian proses bekerjanya hukum
dipengaruhi oleh manusia-manusia yang menjalankan hukum. Disini kita bisa memahami
bahwa hukum memang tidak hanya memiliki sifatnya yang normatif (rules), tetapi hukum juga sebagai suatu
perilaku (Yudi Kristiana, “Menuju Kejaksaan Progresif, studi tentang
Penyelidikan, Penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi”, Penerbit
Masyarakat Transparansi Internasional Jakarta, 2009 hal 19).
Sebagai suatu proses,
penegakan hukum mempunyai korelasi dan hubungan interaksi dengan faktor-faktor
yang menurut L.M. Friedman adalah sistem hukum itu sendiri meliputi substansi
hukum, struktur hukum dan budaya hukum (Friedman L.M., the legal system, A
social perspective) dimana satu faktor dengan faktor yang lainnya saling
berhubungan sehingga mempengaruhi proses yang dicita-citakan. Suatu penegakan
hukum menempati posisi yang strategis dalam pembangunan hukum, lebih-lebih
disuatu negara hukum seperti halnya Negara kita adalah Negara hukum sebagaimana
yang tertuang dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Namun proses penegakan
hukum mempunyai dimensi yang lebih luas dari pada pendapat tersebut, karena
dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan
pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang
akan selalu menonjol adalah problema “law
in action” bukan pada “law in the
books”.
Menurut Soerjono
Soekanto, ruang lingkup dari istilah “Penegakan
Hukum” adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan
secara tidak langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum. Dari
pengertian luas tadi, akan lebih membatasi pengertiannya yaitu kalaupun yang
secara langsung berkecimpung dalam penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Dengan demikian
mencakup mereka yang bertugas dibidang-bidang Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakata (Soerjono Soekanto, Faktor yang
mempengaruhi penegak hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007, halaman
19)
Dalam pembahasan
penegakan hukum menjadi bermakna bilamana para aparat dan yang terkait
didalamnya benar-benar melaksanakan fungsinya dan tugasnya secara konkrit dan
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan HAM.
Bila dievaluasi dari
pendekatan konteks hukum pidana, penegakan hukum yang disebut integrated justice system yang meliputi
Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatn sebagaimana
yang tercantum dan diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, akan tetapi
dalam penjabaran dari masing-masing tentu telah didasari pada landasan
berpijaknya sesuai tugas pokok masing-masing dan telah diatur dalam
undang-undang sendiri.
Sistem Peradilan Pidana
adalah jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu diantara
bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan tertentu baik jangka pendek maupun
jangka panjang. Dapat pula dikatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu
komponen (sub sistem) peradilan pidana yang saling terkait / tergantung satu
sama lain dan bekerja untuk mencapai tujuan, yaitu untuk menanggulangi
kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. dari pengertian
sistem tersebut sudah menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang
ada dalam peradilan (Dr. Rusli Muhammad, S.H., M.H, Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, 2011, Yogyakarta; UII Press)
Menurut Barda Nawawi
Arief, sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan
hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem
kekuasaan kehakiman dibidang hukum pidana yang diimplementasikan diwujudkan
dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : (1) kekuasaan penyidikan oleh lembaga
penyidik; (2) Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum; (3) kekuasaan
mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan (4) kekuasaan pelaksanaan
hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan
satu kekuasaan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut
dengan istilah Sistem Peradilan Pidana atau SPP terpadu atau Integrated Criminal Justice System.
Dalam sistem peradilan
pidana, Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan pemasyarakatan merupakan
penegak hukum yang mewakili hubungan fungsional yang sangat erat dan sudah
semestinya proaktif bekerjasama, bersinergi dan berkoordinasi secara seksama
dengan baik untuk mencapai tujuan dari sistem ini (Morris hanya menegaskan Polisi
dan Jaksa, lihat Morris N, “Criminal Justice In Asia< Quest For and
Integritas Approach, Introduction”, 1982). Sejalan dengan itu, Pillai
berpendapat bahwa meskipun faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum
sangat banyak, termasuk faktor-faktor sosial, ekonomi dan sebagainya, tetapi
justru faktor terpenting penghambat penegakan hukum itu ada didalam sistem
hukum itu sendiri.
Seperti misalnya, tidak
mewujudkan fungsi keterpaduan, selalu menonjolkan ego kelembagaan bahkan hingga
ada suatu pertentangan yang tidak ada jalan keluar sebagai solusi mengatasinya
bahkan berjalan berlarut-larut hilang dari ingatan karena waktu berlalu (Domu
P. Sihite, S.H., M.H, “Penegakan Hukum Tindak Pidana Umum”, dalam Konsep
Direktur Tindak Pidana terhadap Orang dan Harta Benda, 2014)
Dalam sistem peradilan
pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum,
meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan
sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem
peradilan pidana tersebut saling bekerja sama dan terikat pada satu tujuan yang
sama. Hal ini bisa terjadi jika dudukung adanya sinkronisasi dari segi
substansi yang mencakup produk hukum dibidang sistem peradilan pidana yang
memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan
integratif Dr. Rusli Muhammad, S.H., M.H, Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
2011, Yogyakarta; UII Press).
Maka tentunya yang
dicermati, fungsi keterpaduan harus benar diterapkan secara konsisten dan
pemberdayaan penggerak yang bersinergi untuk mewujudkan komponen dasar system
yaitu substansi sebagai hasil atau produk sistem (KUHAP), struktur
lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan,
serta kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan di berdayakan.
Dengan kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari sistem peradilan
pidana.
Secara khusus, mengacu
pada landasan berpijak lembaga Kejaksaan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. yang
berkaitan dengan tugas pokok dan wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 30 :
ayat
(1) Dibidang Pidana :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas
bersyarat;
d. melakukan penyelidikan terhadap pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk
itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Ayat (2) Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara ,
dengan kuasa khusus dapat bertindak baik didalam maupun diluar pengadilan untuk
dan atas nama negara atau pemerintah.
Ayat (3) Dalam bidang
Keamanan dan Ketertiban Umum turut menyelenggarakan kegiatan :
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum.
c. pengamanan peredaran barang cetakan.
d. pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara.
e. pencegahan penyelenggaraan dan/atau penodaan
agama.
f. penelitian dan pengembangan hukum serta
statistik kriminal.
Pasal 32 : disamping tugas dan wewenang
tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas wewenang lain berdasarkan
undang-undang.
Pasal 33 : dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, Kejaksaan
membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan
negara atau instansi lainnya.
Dalam melaksanakan
tugas pokok, fungsi dan kewenangan Kejaksaan, salah satu prinsip yang tidak
bisa diabaikan dalam negara hukum adalah kesederajatan bagi setiap orang
dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan kepastian hukum yang adil, serta
perlakuan yang sama didepan hukum. Disini dituntut untuk lebih berperan dalam
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan perbuatan pidana seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Dalam melaksanakan
tugas pokok dan kewenangan serta fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum, dapat
dikatakan sangat central, mengingat dari segi pendekatan fungsi melalui
integrate justice system, sangat terkait dengan hubungan kerja baik dengan
Penyidik Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, bilamana ada suatu perkara
tindak pidana yang ditanganinya dan melakukan penyidikan maka SPDP
diberitahukan kepada Penuntut Umum sesuai pasal 109 ayat (1) KUHAP dan bilamana
berkas sudah selesai dan Penyidik akan mengirim ke Kejaksaan dan selanjutnya
dilakukan penelitian berkas perkara oleh jaksa peneliti dengan penelitian yang
cermat apakah sudah dapat dinilai telah memenuhi syarat formil dan materiil,
sesuai pasal 110 ayat (1) jo pasal 138 ayat (1) KUHAP. Disini dari sisi waktu,
dalam waktu 7 (tujuh) hari jaksa peneliti wajib memberitahukan kepada penyidik
apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum sesuai pasal 138 ayat (1)
KUHAP.
Namun bilamana hasil
penyidikan dinilai oleh jaksa peneliti bahwa berkas telah lengkap dan memenuhi
syarat formil dan materiil sesuai pedoman yang dikuasai jaksa dalam melakukan
check list berkas perkara, kemudian dinyatakan lengkap yang disebut dalam kode
surat internal Kejaksaan P-21, maka penyidik tentunya akan mengirimkan Tersangka
dan Barang Bukti ke Kejaksaan yang disebut Penyerahan Tahap kedua dimana jaksa
dalam tugasnya sebelumnya telah menyiapkan pembuatan surat dakwaan sebagai
tindak lanjut akan dilakukan penuntutan
(pasal 140 ayat (1) KUHAP).
Kemudian
sesuai kewenangan jaksa penuntut umum yang telah ditentukan, akan melimpahkan
berkas perkara lengkap dengan surat dakwaan ke Pengadilan yang berwenang
mengadili dengan permintaan agar mengadili perkara yang disertai dengan surat
dakwaan (pasal 143 ayat (1) KUHAP).
Muhammad Ichsan Nugroho
Sub Bab Laporan Akhir Praktek Kerja Lapangan FH Unnes 2014
di Kejaksaan Agung Republik Indonesia